Aku sadar tak bisa menggantung jawaban atas ajakan bang Yugi. Terlebih setelah kembali ke Jakarta, dia lebih intens bertanya. Jadi, setelah semalaman berpikir, akhirnya aku membuat keputusan.
Keputusan yang benar-benar nekat dan bodoh.
Aku akan ke Jakarta.
Saat ide itu kusampaikan pada Bapak dan Ibu, mereka saling lirik. Hal pertama yang Bapak katakan adalah dia belum punya uang sekarang-sekarang ini. Aku maklum. Kubilang kalau kali ini aku akan pergi dengan ongkos sendiri.
Ketika ditanya ada keperluan apa di Jakarta, kukatakan ada kegiatan sosial macam kemarin. Butuh dua hari sampai izin dari Bapak turun. Aku berangkat dengan penerbangan sore. Sengaja tak kuberi kabar apa-apa pada Bang Yugi.
Hingga akhirnya tiba di ibukota, dengan jantung berdebar aku memberitahu bang Yugi. Bukan lewat pesan, kuhubungi ponselnya langsung.
"Kenapa, Sayang? Kok belum tidur?" Tanpa menyapa dulu, dia langsung memberi dua pertanyaan.
Aku membasahi bibir. "Bang ...."
"Iya? Kenapa? Kamu sakit, ya? Suaramu kecil banget."
"Bang ...." Satu tanganku memegangi kening. Memejam, aku berkata, "Aku di Jakarta. Dari bandara, harus minta diantar ke mana sama supir taksinya?"
Hening.
Bang Yugi tak mengatakan apa-apa selama beberapa detik. Bibirku bergetar samar menunggu reaksinya. Apa dia marah? Wajar memang. Aku datang tanpa pemberitahuan. Dia tidak suka aku datang? Apa ini yang ia rasakan ketika kemarin aku tak menyambutnya dengan baik.
Aku menyesal.
"Bang?" panggilku dengan suara lirih.
"Kamu jangan bohongin aku, Sayang." Dia akhirnya bersuara.
"Enggak bohong." Kuubah panggilan suara menjadi panggilan video. Kutunjukkan gambar sekitar. Kulihat matanya membulat di layar.
Kemudian, panggilanku diputus.
Jantungku rasanya jatuh. Ngilu. Aku mengedarkan pandangan dengan kerjap panik. Bagaimana ini? Bang Yugi agaknya memang tidak suka aku datang. Apa aku tunggu penerbangan selanjutnya untuk pulang ke rumah?
Lima belas menit berlalu. Aku sudah akan mencari kontak kak Fani, saat sebuah panggilan suara datang. Dari bang Yugi. Kugeser tombol hijau di layar dengan takut mengiringi.
"Sayang ...." Dia terdengar terengah. "Tungguin sebentar, ya. Lima belas menit. Aku udah di jalan, kok."
"Di jalan? Jemput aku?"
"Iyah." Suara grasak-grusuk terdengar beberapa saat. "Aku udah tukeran sama temenku. Untung banget dia mau, Sayang. Rezeki kamu."
"Kau lagi ngapain, sih, ngos-ngosan gitu?" Kini napasku terasa agak lega.
"Habis lari, Sayang. Turun ke parkiran." Dia tergelak dengan napas yang masih putus-putus. "Baru hari ini aku ngerasa parkiran di rumah sakit ini jauh banget."
Samar kudengar suara kunci mobil.
"Sayang, aku mau nyetir. Kamu tungguin, ya. Aku takut nanti malah nggak fokus."
"Iya, Bang. Hati-hati. Maaf, ya," pintaku sungguh.
"Kamu utang penjelasan pokoknya. Awas aja kalau aku udah sampai bandara. Kugigit kamu karena udah bikin aku panik."
"Maaf, ya," ulangku semakin merasa bersalah.
"Jangan nangis, ah. Aku cuma panik, nggak marah, kok. Jangan nangis, Sayang. Nanti kayak bocah nyasar di bandara." Dia tertawa lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/366864161-288-k250371.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?