Bab 27

2.4K 184 5
                                    

[Jangan terlalu sedih, ya. Maaf nggak bisa nemenin kamu. Aku nggak bisa ke sana sekarang-sekarang ini.]

Dalam mobil menuju rumah, aku teringat pesan yang kemarin bang Yugi kirimkan. Dadaku pelan-pelan bergemuruh. Kuhitung-hitung sudah berapa lama kami intens bertukar kabar dan kegiatan sehari-hari lewat pesan atau telepon. 

Jika tidak salah sudah enam bulan. Seratus delapan puluh hari. Waktu yang bukan sebentar, lalu hari ini aku menyadari kalau bang Yugi mengganti nama panggilannya. Bukan 'gue', kini lelaki itu menyebut dirinya 'aku'.

Lalu pesan yang tak sengaja kuingat tadi. Itu ia kirim dua hari lalu, setelah aku mengabari akan susah membalas pesan atau menjawab teleponnya beberapa hari karena akan pergi ke kampung sebab ada kerabat ayah yang meninggal dunia.

Aku menemukan ada perhatian di pesan singkat tadi. Dia tidak bisa datang menemani katanya. Haduh, rasaku aku sudah benar-benar salah paham pada si dokter ini. Enam bulan ini, agaknya aku gagal mengendalikan diri dan menganggap intens-nya komunikasi kami adalah sebuah hal istimewa.

Padahal, mungkin saja tidak begitu. Yugi mungkin hanya menganggap aku teman, karenanya memberi perhatian. Tidak lebih, seperti yang aku pikirkan. Iya, pasti begitu. Kan kata Kak Fani dia juga sudah bertemu calon istrinya yang dipilihkan sang ibu.

Masalah calon istrinya itu, aku sudah bertanya. Dia membenarkan sudah bertemu wanita itu. Namanya Anita. Seorang dokter spesialis kulit dan kecantikan. Namun, bang Yugi tidak bilang perempuan itu calon istrinya, melainkan teman. Hanya relasi.

Aku, ya, mana percaya. Aku lebih berat ke info dari kak Fani yang berkata kalau Anita itu adalah wanita yang dipilihkan ibunya bang Yugi. Menantu yang diinginkan kata kak Fani. Selain karena  sama-sama dokter, ayahnya Anita adalah pemilik sebuah rumah sakit besar. Relasi yang sangat dibutuhkan Yugi kata kak Fani.

Seorang dokter juga butuh hal-hal demikian kata Kak Fani. Apalagi yang backgroundnya seperti bang Yugi, yang sejak berkuliah sudah mengandalkan beasiswa, pun berasal dari keluarga yang memang tak ada yang bekerja sebagai dokter. Yugi harus pandai-pandai membuat relasi, supaya jalan kariernya tidak sulit.

Aku lebih percaya kak Fani, sebab itu yakin jika Anita memang calon istri Yugi. Bagiku alasan yang kak Fani berikan masuk akal. Hanya saja, perasaanku agak terluka.

Sejak awal yakin mampu menjalin hubungan pertemanan saja dengan Yugi, nyatanya aku terlalu sesumbar. Perasaan itu bukannya hilang, malah makin besar tiap harinya.

Sebab itu setibanya di rumah aku langsung naik ke ranjang dan membalas pesan bang Yugi.

[Nugas di IGD lagi?]

Kukirim pesan tebakan itu. Sekarang pukul sebelas malam soalnya. Kalau dia tidak sedang tugas di sana, pasti sudah tidur.

Tak lama balasan pesanku itu datang.

[Iya.]
[Kamu udah pulang?]

[Baru nyampek.]

Dia bertanya soal kegiatan di kampung, aku menjelaskan sekenanya. Iseng, ingin mengetes sesuatu yang sebenarnya sudah aku tahu jawabannya, aku memberitahu soal rencana salah satu bibi di kampung yang dituturkan padaku kemarin.

[Aku mau dijodohkan lagi.]
[Sama sepupu. Pariban di sini nyebutnya.]
[Anaknya baik. Udah matang juga umurnya, empat tahun di atas aku.]

Bang Yugi menelepon. Aku tidak angkat karena sudah malam, pun tidak cukup berani mendengar responnya secara langsung. Dia paling hanya akan memberikan selamat dan memberi pertanyaan khasnya orang antusias.

[Udah malam, Bang. Teks aja ]

Kurasa ada jeda lima belas menit. Kukira dia tak akan merespon lagi. Mataku saja sudah nyaris terpejam karena sudah mengantuk. Saat ponsel bergetar karena pesan baru masuk, aku dibuat melipat dahi usai membacanya.

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang