Bab 3

3.1K 159 1
                                    

Minggu malam adikku yang selama ini tinggal di kost yang dekat dengan tempat kerjanya datang berkunjung. Tidak sendiri, dia datang membawa gandengan. Katanya calon pacar. Selagi dia menyiapkan teh dan hidangan di dapur, aku menginterogasi.

"Namanya siapa?"

Davina menengok dengan senyum malu. "Jordan, Kak," jawabnya dengan suara lembut.

Lain denganku yang suka berteriak, Davina ini memang tipe yang lembut. Tampilannya saja begitu feminim. Rambut hitam lurus, panjang sepunggung. Wajah putih, cerah, mulus. Pokoknya, cantik.

Dia bisa dapat siapa saja sebenarnya. Namun, orangnya terlalu pemilih. Wajar juga dia pemilih, memang siapa yang mau punya pacar seorang yang tak jelas.

"Kenal di mana? Kerjanya apa?" cecarku tak sabar.

Beda dengan Ibu yang pasif soal pacar Davina atau Ilana, aku ini tipe yang banyak tanya. Bukan kepo atau usil. Aku hanya memastikan adikku tidak salah pilih.

"Dikenalkan kawan. Kerjaannya pegawai." Davina selesai mengaduk teh.

Dia menatapku. Memberi sorot ramah, seolah tahu kalau aku masih punya banyak rasa ingin tahu.

"Pegawai mana?" kejarku.

"Pabrik obat." Dia menyebut salah satu produsen obat ternama.

Aku mengangguk puas. "Jangan asal nurut kalau dia minta aneh-aneh. Awas kau nabung duluan, ya. Kujambak."

Bukan berburuk sangka pada lelaki itu. Namun, aku tahu adikku ini sangat penurut pada ayah dan ibu. Begitu juga pada mereka yang dia sayang. Padaku contohnya.

Harusnya dia kesal karena kuinterogasi begini, padahal baru mau punya pacar. Namun, dia tidak protes, malah menjawab semua pertanyaanku dengan baik. Perempuan lembut dan penurut begini rawan dimanfaatkan orang jahat. Karena itu aku mewanti-wantinya sejak awal.

Davina terkikik pada ancamanku. Ia mengangguk, lalu mengangkat nampan. "Kakak nggak mau kenalan dulu?"

Kuberi dia gelengan. "Aku mau main hape, di kamar," jawabku sambil balik badan.

Tepat saat itu seorang lelaki datang ke dapur. Dia tampak tersenyum kikuk ke arahku. Kemudian, dia melirik pada Davina seolah sedang meminta bantuan.

Davina meletakkan nampan, menghampiri lelaki itu.

"Kenalkan, Bang. Ini Serin, kakakku," ujar Davina.

Lelaki itu tersenyum ramah. Dia mengulurkan tangan, kusambut dengan sopan.

"Jordan, Kak," katanya memperkenalkan diri.

Jabat tangan usai, kupandang wajahnya beberapa detik. "Maaf, Bang. Umurnya berapa?" tanyaku langsung.

Senyumnya makin lebar, kali ini lebih lepas. "Tiga empat, Kak."

Langsung mulutku berdecak-decak. Sudah kuduga. Perawakannya seperti pria matang. Ternyata benar. Usianya lebih banyak dariku.

"Kalau gitu, jangan panggil kakaklah, Bang," protesku tak enak. "Davina ini pun," sungutku lebih jauh.

Jordan tertawa. "Nggak pa-pa. Kan kakaknya Davina."

"Aku baru tiga puluh, Bang. Udah, panggil nama aja. Pamit ke kamar dulu, Bang." Mengangguk sekali, aku berlalu menuju kamar.

Davina ini ada-ada saja. Kenapa juga harus punya pacar yang umurnya malah di atas aku? Punya adik ipar yang lebih tua umurnya dariku pasti akan membuat canggung nantinya.

***

Pagi ini aku mendapat tugas lagi dari ibu. Mengantar Madisson si bungsu ke sekolah. Kami berangkat lima belas menit sebelum bel sekolah berbunyi. Sampai di sekolah, Madisson langsung lari menuju kelasnya.

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang