Bab 43

450 59 9
                                    

"Sup dagingnya sudah dibawa, Serin?"

Pada Bapak aku mengangguk. Tidak langsung berlalu, Bapak mendatangi aku yang sedang memasang sepatu di teras. Lelaki itu duduk di kursi satunya.

Sore ini aku akan kembali pergi ke rumah sakit. Meski kemarin diabaikan bang Yugi, rasanya tidak masalah. Lagi pula, aku datang hanya untuk melihat keadaannya dan membawakan makanan. Jikalau nanti dia mengabaikanku lagi, ya sudah.

Aku menemukan gerak-gerik yang lain dari pria di sebelah. Bapak beberapa kali kedapatan melirik dengan sorot mata penuh maksud. Kuyakin, dia punya sesuatu untuk dikatakan.

Aku duduk tegak. "Bapak ada mau diomongkan?" tanyaku langsung.

Beliau terlihat membuang pandang ke depan beberapa saat. "Maafkan bapak, ya," ujarnya tiba-tiba.

Aku tak menyahut karena bingung. Kutunggu hingga pria itu melanjutkan.

"Kalau saja dulu Bapak sekolahkan kau sampai sarjana, mungkin hubunganmu sama dokter itu nggak akan begini."

Aku terhenyak dengan perasaan bersalah. Bapak kini sudah menunduk dengan ekspresi susah.

"Apa, sih?" protesku terdengar santai. "Siapa yang cerita ke Bapak?"

"Renhard." Kini beliau menoleh. "Jangan marahi dia. Aku yang paksa dia cerita."

Mengangguk saja, aku kemudian berkata, "Mungkin, kalau aku sarjana pun, ibunya bang Yugi tetap enggak akan kasih restu, Pak. Dasarnya, dia memang enggak suka aku. Ya udahlah. Bapak jangan ngerasa bersalah, macam apa kali pun."

Bapak mengangguk. "Kau udah pernah ngomong sama ibunya?"

"Ngomong apa?"

"Minta restu dengan cara baik-baik. Ngomong dari hati ke hati, jujur sama dia kalau kau betulan sayang sama anaknya."

Mataku langsung terbuka lebih lebar mendengar itu. Kenapa Bapak bisa menebak dengan benar? Sore ini, aku memang berniat melakukan itu.

Semalaman ini aku memikirkan ulang semua. Tuduhan egois dari kak Fani dan semua kalimatnya di depan ruang operasi tempo hari sungguh menamparku. Dia benar, aku terlalu mementingkan perasaan bersalahku dan juga mengabaikan bang Yugi.

Juga, aku jadi ingat bila selama ini belum pernah sekali pun bicara dari hati ke hati, membujuk Tante Mel. Dianggap pembantu saja waktu itu aku sudah pasrah. Seolah aku tak punya keinginan memperjuangkan Yugi dan membiarkan semua penolakan Tante Mel begitu saja tanpa perlawanan.

"Ada kemungkinan berhasil enggak, Pak?" Aku menatap Bapak resah.

Beliau mengangguk. "Kenapa nggak? Coba bicaralah dengan ibunya dokter itu. Jujur soal perasaanmu. Biasanya, sekeras apa pun hati seseorang, bakal bisa luluh juga kalau udah bicara tentang cinta."

Dia akhir kalimat Bapak memberi senyum. Senyum mengejek. Beliau menjangkau puncak kepalaku dengan telapak tangan, kemudian membuat usapan lembut di sana.

"Pergilah, usahakan dulu. Siapa tahu tahun ini aku bisa punya menantu? Dokter pula. Ah, mantap itu! Bisa gratis berobat."

Ejekan itu kuanggap doa, meski meresponnya dengan sok cemberut. Bapak ada benarnya. Usahakan saja dulu. Mau bagaimana pun hasilnya, ya semoga

***

Sabtu ini jalanan menuju rumah sakit lebih ramai dari biasanya. Alhasil, aku yang berangkat sore, tiba di rumah sakit ketika langit sudah gelap. Aku tidak langsung ke ruangan bang Yugi. Setelah mendapat nomor kontak Tante Mel dari kak Fani, aku meminta beliau menemuiku di lobi depan.

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang