Bab 38

397 56 10
                                    

Apa hal menyebalkan dari bertemu orang yang dulu pernah kita suka? Jantung berdebar cepat, padahal kita mati-matian berusaha tenang dan biasa saja. Masih ada perasaan ingin cari perhatian, padahal sudah bukan siapa-siapa. Sungguh ironi memang ketika otak dan hati yang adalah mutlak milik kita bahkan ingkar pada perintah yang pemiliknya berikan.

Bang Yugi sampai di rumah lima belas menit lalu. Dan selama itu pula aku ngos-ngosan. Katanya, selama dua hari ke depan founder DreamTeam itu akan ikut mengurus segala bentuk persiapan, terutama perizinan kegiatan sosial di salah satu kampung di kota ini.

Lelaki itu bersikap biasa saja sebenarnya. Dia memang ramah, pun sudah pernah berkunjung ke sini. Jadi, terlihat luwes membangun obrolan dengan Bapak dan Ibu. Masalahnya, aku yang gagal biasa saja.

Sejak tadi dadaku berdebar. Napas bahkan pendek-pendek. Sudah kusibukkan diri dengan membuatkan teh, sok ikut mendengar obrolan, pun menawarkan diri pergi ke warung untuk membeli rokok Bapak. Namun, tetap saja aku tidak tenang.

Perasaan campur aduk. Gugup, takut, ada sedikit rindu. Sedikit saja. Merasa kebingungan karena emosi yang tidak stabil, pada akhirnya aku izin ke dapur. Mencuci piring dan memastikan nasi tersedia, kujadikan alasan.

Di dapur aku lumayan tenang sebab sepi. Minum beberapa saat, aku berjengit kala suara bang Yugi terdengar ke arah sini.

"Gue pernah ke sini. Tahu di mana toilet."

Tepat di kata terakhir lelaki itu, aku mendapati eksistensinya di dapur. Kami bertatapan sejenak. Sorot matanya datar saja, lalu dia bergerak ke arah kamar mandi.

Pria itu menghilang di balik pintu. Aku memegangi dada. Gemetar jariku karena tak sengaja beradu pandang dengannya beberapa saat tadi. Sekarang bagaimana? Apa aku kembali ke depan saja? Menghindar adalah jalan terbaik kini. Jangan sampai kami bicara dan dia menuntut alasan mengapa aku mendadak menghilangkan diri dua bulan belakangan.

Aku mengigit ibu jari. Apa pergi ke depan adalah perbuatan sopan? Menghindar begini, tidakkah akan membuatnya sebagai tamu merasa kurang dihargai? Ah, biar saja. Daripada  harus kembali terlibat dengannya?

Cepat-cepat kaki bergerak meninggalkan dapur. Aku pergi ke depan, kemudian terbersit ide untuk keluar sebentar.

"Pak, Bu. Aku izin sebentar." Aku menatap bang Renhard dan kak Fani bergantian. "Sebentar, ya. Kawanku ada yang mau dibicarain."

Tanpa menunggu mereka menanggapi, aku bergegas ke teras. Memakai sandal, kupacu langkah meninggalkan rumah. Ternyata, begini perasaan kalau bertemu mantan terindah. Kacau.

***

Aku sengaja pulang agak gelap. Pukul tujuh malam. Kutemui tiga anggota DreamTeam di teras. Sepertinya sedang membicarakan rencana kegiatan.

Memberi senyum sekenanya saat lewat, aku mendapati Madisson di ruang tamu. "Kak, Bapak sama Ibu pergi." Dia memberitahu dengan wajah ditekuk.

Kuberi lirikan meledek. "Tumben kau enggak minta ikut?"

"Tadi udah minta ikut," bantahnya. "Tapi, Bapak bilang Kak Fani nggak ada kawan nanti. Kakak dari mana, sih?"

"Ada urusan. Kau udah makan?"

Dia mengangguk, aku berlalu ke dapur untuk mandi.

Mandi pun aku sengaja berlama-lama. Selesai dari sana, aku dibuat terkejut karena ternyata bang Yugi di dapur. Hendak cepat pergi dari sana, kakiku yang masih licin karena basah malah terpeset. Alhasil, nyaris jatuh kalau saja bang Yugi tak gesit memegangi.

Tubuhku langsung berjengit ketika tangannya menyentuh lengan. Seperti ada sengatan semut, tetapi berhasil membuat bulu kuduk meremang. Segera kutarik tangan darinya. Dilarang ada kontak fisik di antara mantan, apalagi kalau salah satunya masih belum sepenuhnya move on.

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang