"Lo bilang apa, sih, sama bapaknya si Tius?"
Aku sedang mengenakan sepatu saat bang Renhard kembali menyuarakan pertanyaan yang sudah ia ulang-ulang sejak kemarin. Padanya aku melempar senyum.
Urusan Tius selesai dengan jalan penuh air mata. Renhard menceritakan pada anak itu kalau ayahnya ditahan, dikurung dan diberi hukuman karena sudah memukul dia. Tius menangis. Dia meraung-raung minta diantar ke tempat ayahnya.
Ditanya apa masih mau tinggal bersama, dia mengiyakan. Ditanya bagaimana kalau dia dipukul lagi, dia menjawab,
"Kalau Tius masak nasi dan cuci baju, Bapak tidak akan pukul."
Mataku berkaca-kaca mendengar jawaban anak itu. Besar sekali hatinya. Dan perihal pertanyaan yang bang Renhard terus tanyakan tadi disebabkan karena habis aku dan ayahnya Tius bicara berdua, lelaki itu tersedu-sedu. Dia memeluk anaknya, lalu meminta ampun.
Anak dan ayah itu kembali tinggal bersama sejak kemarin sore. Tiap hari akan akan pihak hukum yang mengawasi apa ayahnya Tius menepati janji untuk berubah atau tidak. Semua terselesaikan.
"Heh, Serin!" Bang Renhard memanggil sambil menarik ujung rambutku.
Tidak sakit. Dia menarik rambutku pelan saja, hanya bercanda. Namun, aku mau membuat huru-hara. Kuadukan dia pada kak Fani.
"Kak Fani!" teriakku dari teras. "Aku dijambak bang Renhard."
Dari dalam rumah kak Fani datang. "Lo belum jadi lakik udah main KDRT?" Dipukulnya punggung bang Renhard kuat.
Aku tertawa melihat bang Renhard meringis. Sepatu sudah terpasang, saatnya berangkat. Ini hari Minggu, ada kegiatan lomba di lapangan, setelah ada pelayanan kesehatan gratis dan kegiatan membuat kerajinan tangan. Yang bertugas untuk kegiatan pelayanan kesehatan dan pembuatan kerajinan tangan sudah berangkat dari pagi, sekarang kami akan menyusul.
Setelah semua beres berkemas, satu per satu mulai berjalan. Bang Renhard masih mengikutiku dan kak Fani. Dia masih penasaran soal ayahnya Tius. Kasihan juga karena dia terus-terusan dipukul kak Fani, aku pun memberitahu.
"Aku pernah lihat foto ibunya Tius," beritahuku memulai. "Tius, tuh, mirip banget sama ibunya. Itu yang aku tanyain ke bapaknya."
Bang Renhard melipat dahi.
Aku berdecak malas. "Aku bilang gini, 'Kalau bapak secinta itu sama istri, kenapa bisa benci Tius? Tius itu bagian dari istrinya bapak, orang yang bapak cintai. Wajahnya saja mirip. Apa bapak enggak akan menyesal kalau kehilangan Tius juga? Cuma dia yang bapak punya sekarang.' Gitu."
Lelaki itu bertepuk tangan. "Mulut lo pinter banget, ya? Kecuci otak orang ngobrol sama lo."
"Bukan," bantahku. "Dasarnya, perasaan dan emosi itu adalah bagian yang paling mudah disentuh dan paling bisa menggerakkan seseorang. Asal kita mau mengerti perasaan seseorang, kita bisa kasih pengaruh ke dia."
Suara tepuk tangan bang Renhard makin keras. "Pemain!" ejeknya.
Di sebelah kananku kak Fani mencebik. "Nggak guna kalau sampai sekarang masih jomblo! Belum ngerasain enaknya ciuman sama making lo-"
"Fani, mulut lo perlu gue jahit?"
Kami bertiga berhenti berjalan dan serempak menoleh ke belakang. Ternyata ada bang Yugi di sana. Bukannya dia jalan di depan?
***
Harusnya aku ikut lomba lari berpasangan yang diadakan hari ini. Sejak jauh hari aku sudah janji akan jadi pasangan Tius. Namun, karena aku dan Tius tak kunjung kompak, Tius melarang ikut. Dia ingin menang katanya. Sebagai ganti, anak itu mengajak bang Yugi. Menyebalkan. Aku dicampakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
Lãng mạnSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?