Bab 22

373 60 4
                                    

Hari terakhirnya di Medan, sebelum bertolak ke bandara bang Renhard singgah ke rumah lagi. Kebetulan ada Ibuk, lelaki itu disuguhi makan. Dia tidak menolak.

Selepas makan, mereka mengobrol. Aku hanya menyumbang kehadiran, sebab tak tertarik ikut bergabung. Namun, aku mendengarkan apa saja yang bang Renhard bicarakan dengan Ibu.

Pertama bang Renhard menjelaskan pekerjaannya di sini dua hari lalu. Menerangkan ia tinggal dengan siapa sekarang, baru aku tahu ternyata lelaki itu adalah tulang punggung keluarga.

"Berarti habis wisuda nanti, adekmu langsung menikah?" tanya Ibu selepas bang Renhard menceritakan adiknya.

Lelaki itu mengangguk. "Sebenarnya saya mau dia kerja dulu. Punya pengalaman dulu, karena masih muda. Biar jadi perempuan tangguh. Tapi, gimana. Orangnya udah kepengen nikah."

Meski dia tersenyum, aku melihat ada gurat kecewa di kedua matanya. Aku usil untuk ikut campur.

"Abang udah bilang ke dia langsung?"

Bang Renhard menoleh. "Bilang?" beonya.

Kuberi dia anggukkan kepala. "Bilang ke adek Abang apa yang abangnya mau. Ngomong terus terang."

"Ya enggak enaklah Nak Renhard ini, Ser. Dia kan jaga perasaan adeknya." Ibu berkomentar.

"Ya coba aja dulu," bantahku. "Namanya juga ngomong, diskusi. Bang Renhard mesti siap terima apa pun jawaban adeknya. Dan siapa tahu pikiran adeknya tercerahkan setelah diomongkan?"

Bang Renhard tampak mengulas senyum kecil, sebelum mengangguk. Ibu ada keperluan ke tempat tetangga, kami ditinggalkan berdua.

"Eh, iya," kata lelaki itu habis meneguk habis teh manis. "Si Yugi nggak percaya gue main ke rumah lo." Dia cekikikan. "Kebakar cemburu kayaknya dia."

Aku menatapnya dengan raut wajah datar. Malas sebenarnya menanggapi candaan itu. Namun, biar ada bahan obrolan, daripada kami diam-diam saja.

"Abang ini jangan suka asal. Nanti pacarnya dokter itu marah," ingatkanku.

"Sekarang dia mana ada pacar. Dulu, banyak."

Kalimat itu membangkitkan rasa penasaranku. Apalagi, saat bang Renhard menambahkan,

"Pokoknya, kalau dikumpul, mantannya Yugi mungkin cukup untuk bikin satu negara." Bang Renhard terpingkal puas. 

"Se-playboy apa, sih, dia, Bang?" tanyaku terus terang.

"Lo tahulah Yugi gimana tampangnya. Kalau temen kuliah dulu bilangnya dia mirip aktor drama China. Gak susah kalau dapat cewek. Eh, si Yugi nerima aja siapa pun cewek gang nembak dia."

Mataku membola. "Bang Yugi sering ditembak?"

Biasanya, kan, lelaki yang menyatakan perasaan lebih dulu?

Di depanku bang Renhard mengangguk. "Kek asal aja gitu. Ditembak cewek, jadian. Tapi, ya, gitu. Paling lama cuma dua bulan. Dia ditembak lagi, pacar baru lagi."

"Dia kek nggak ada kriteria khusus soal cewek," tambah pria itu. "Pokoknya, asal ceweknya suka, mereka jadian. Nah, agak berkurang pas dia udah koas. Entah nggak ada waktu atau memang tobat, mulai jarang kelihatan bareng cewek dia."

Aku mengangguk paham. Banyak pengalaman juga bang Yugi.

"Makanya, Ser," ujar bang Renhard menarik kembali atensiku. "Waktu kemarin dia gandeng-gandeng lo. Kita semua udah curiga."

"Curiga apa?" Dudukku mulai gelisah. Aku berharap Bang Renhard tidak mengatakan apa-apa yang bisa membuat otak salah menilai.

Sebulan ini aku susah payah berusaha melupakan dia. Kalau aku salah paham atas perkataan bang Renhard, kemudian berharap entah apa, bagaimana?

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang