Seperti kata bang Yugi. Takut itu harus dilawan. Jadi, aku sudah memikirkan sebuah ide. Untuk melaksanakannya, aku butuh bantuan seseorang. Sekarang akan kupastikan orang itu mau membantu apa tidak.
Kata kak Fani dia ada di dapur. Saat ke sana malah ada bang Yugi di sana.
"Bang Renhard enggak di sini?" tanyaku pada bang Yugi.
"Ada apa?" balasnya sambil mengocok telur. Sepertinya dia yang kebagian memasak pagi ini.
"Udah pergi, ya?" tebakku.
Bang Yugi melirik dengan mata menyipit. "Di belakang. Cari kayu bakar."
"Makasih, Bang." Aku langsung bergegas ke lahan di belakang.
Agak sulit mencari bang Renhard. Dia mencari kayu bakar sampai ke dekat ke danau. Setelah mendatanginya, aku minta waktu untuk bicara.
"Aku butuh bantuan pihak berwajib di sini," kataku.
Tangannya yang mengutip kayu bergerak lambat. Dia menatapku dengan kerjap sangsi.
"Maksudnya?"
"Entah untuk nakut-nakutin atau nangkap seseorang, aku butuh orang hukum."
Aku memilih bang Renhard sebab dia yang sering bertemu dengan pihak berwajib untuk urusan perizinan juga keamanan selama kami di sini. Pendapatku, mereka akan lebih mau membantu, cepat datang dan bertindak, kalau bang Renhard yang memanggil.
Bang Renhard menaruh karung ke tanah. "Lo ngomong apaan, sih? Siapa yang mau ditangkap? Lo digangguin orang sini?" Sorot matanya menajam.
Aku menggeleng. "Aku bakal cerita." Kutatap dia lekat. Kucari-cari sesuatu di matanya yang bisa menggoyahkan niat, tetapi tak kutemukan.
Meneguhkan tekad, aku pun bercerita. Semoga dia bisa dipercaya, sebab aku sungguh ingin menolong Tius. Entah dengan menjauhkan anak itu dari ayahnya atau menemukan jalan untuk membuat pria itu sadar. Aku tahu ini bukan urusanku. Pun sebenarnya takut sebab kemarin sudah kena pukul dan ancam. Namun, hati kecil berkata aku harus melakukan sesuatu.
Tius harus ditolong. Sebab ia tak mau mengadu pada siapa-siapa. Teman-temannya di sekolah, gurunya sekalipun tak tahu kalau anak itu sering dipukul, bahkan pernah dilarang ke sekolah.
Selesai aku bercerita, bang Renhard terkejut. Dia tampak mengerutkan dahi beberapa saat. "Lo berani banget, sih? Dia nggak ngapa-ngapain lo, 'kan?"
Soal dipukul waktu itu, aku simpan dulu. Kutanya apa dia bisa membantu. Tugasnya hanya memanggil pihak hukum yang berjaga di desa ini, saat nanti aku berusaha menunjukkan sikap kasar ayahnya Tius. Semacam menjebak.
Kalau nanti aku langsung membuat aduan, takutnya lemah. Bisa saja orang hukum di desa ini butuh prosedur lama untuk membuktikan. Atau, ketika kasusnya didalami, Tius berubah pikiran dan tak mengaku. Jadi, cara ini saja.
"Oke, deh." Bang Renhard setuju. "Tapi, lo pastiin semua udah di-prepare, ya. Lo jangan asal ngejebak dia, tapi nanti lo yang kenapa-kenapa."
Kepalaku mengangguk mantap. Kami mengumpulkan kayu bakar. Setelah dirasa cukup, kami kembali ke rumah. Teman-teman yang lain mulai bersiap untuk kegiatan masing-masing, aku dan bang Renhard mengambil sarapan. Bang Yugi ternyata masih ada di dapur. Bersama kak Fani yang sedang makan.
"Lo berdua ngomongin apa? Kayaknya penting banget sampai harus privat di semak-semak?" Kak Fani mulai iseng.
"Semak-semak tuh penuh tantangan. Ada sensasi gatal-gatal sakit." Bang Renhard malah menimpali.
Mereka terpingkal, aku menatap bergantian. Baru aku yakin mereka sudah berteman sejak lama. Konsletnya sama.
"Lo pernah main di semak-semak?" Wajah kak Fani tampak serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?