Bab 20

426 61 5
                                    

"Tumben kali si Serin mau gabung-gabung, ya?"

Komentar itu aku dengar saat akan masuk ke dapur, sehabis mencuci satu baskom besar wortel. Aku ada di rumah salah satu tetangga sejak siang hingga sore ini. Membantu-bantu kegiatan memasak karena mereka akan mengadakan hajatan.

Lagan, sebutan di sini.

Di balik pintu belakang rumah, aku belum bergerak. Jemariku yang memegangi baskom mengerat, gugup mendengar percakapan beberapa ibu-ibu tadi. Mereka benar, ini pertama kalinya aku ikut kegiatan semacam ini. Biasanya, aku lebih memilih berdiam di kamar.

Alasanku bukan malas. Melainkan, malu. Aku merasa kurang bisa berbaur dan takut malah bersikap salah dan membuat orang-orang kesal. Namun, kali ini aku memberanikan diri ikut, menggantikan Mamak, sebab sadar kalau ini adalah salah satu kegiatan baik.

Membantu pihak calon pengantin menyiapkan makanan yang nanti akan dibagi-bagikan saat memberitahu kalau akan segera diadakan pesta di rumah ini. Itu sesuatu yang baik, 'kan?

Walau sebenarnya aku tetap punya rasa cemas. Namun, keinginan untuk menyumbangkan sedikit tenaga lebih besar. Sepertinya, perjalanan bersama DreamTeam sebulan kemarin lumayan mempengaruhi pemikiranku.

Sudah macam orang lurus belum aku?

Kembali ke komentar salah satu ibu tadi, aku menajamkan telinga untuk mendengar mereka yang kembali berbicara.

"Iya. Biasanya cuma mamaknya."

"Baguslah," sahut ibu yang lain. "Dilihat-lihat, dia cantik, ya. Kira-kira udah punya pacar belum, ya? Anaknya adekku yang di Jakarta masih ada yang lajang."

"Eh, tanya aja. Mumpung orangnya di sini. Serin, kan, selama ini nggak pernah kedengaran macam-macam kelakuannya."

"Iya, tapi dia pengangguran. Memang anak adekmu itu mau sama perempuan pengangguran?"

Di balik pintu, aku mengulum senyum. Dari suaranya, yang terakhir bicara itu pasti ibunya Ayu, alias buk Ranti. Sudah kuduga dia akan ikut dalam pembicaraan ini.

"Ya, kan mereka bisa kenalan dulu. Nanti aku tanyaklah sama si Serin."

"Memang adekmu mau punya menantu pengangguran?" Buk Ranti agaknya belum puas.

"Kan keponakanku udah kerja. Yang penting kan mereka cocok dulu. Siapa tahu keponakanku nggak keberatan?"

Mereka tidak lagi mengobrol, aku menarik napas sebelum melangkah masuk ke dapur. Aku bersikap sebiasa mungkin. Pura-pura tidak tahu kalau tadi mereka sudah membicarakanku.

"Buk, ini wortelnya diapain lagi?" tanyaku pada ibu yang mengatur tim di dapur.

"Oh, diiris panjang-panjang kayak korek, Ser. Itu untuk buat bakwan."

Aku mengangguk. Mengambil talenan dan pisau, satu per satu wortel kupotongi. Tak berapa lama, buk Ranti kudengar bersuara.

"Tumben yang bantu-bantu bukan mamakmu, Ser?" tanyanya penasaran sekali.

Aku memberi senyum tipis. "Iya, Buk. Pengen ngerasain juga ikut lagan." Kuberi dia jawaban jujur.

Kulihat beliau mengangguk dengan raut sinis.

"Kemarin itu, kau ke mana? Kata mamakmu pergi." Kali ini dia membahas soal aku yang tidak kelihatan di rumah selama tiga minggu.

Kujawab dengan memberitahu ke daerah mana aku pergi. Bisa kulihat dia menyipit sangsi.

"Ngapain ke sana? Ada rupanya keluarga kelen di sana?"

"Enggak ada, Buk." Aku bicara sambil terus mengiris wortel. "Ikut komunitas sosial gitu, jadi relawan di salah satu desa di sana."

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang