Bang Yugi mengambil libur dua hari. Tidak kuperbolehkan menginap di rumah, dia terpaksa menumpang tidur di hotel. Mulai kemarin malam dia menginap di sana, siang ini aku bertandang pukul satu.
Kubawakan makanan dari rumah. Sop kaki ayam, dan ikan teri sambal. Bang Yugi bilang bisa menyiapkan makanannya sendiri, rasanya aku baru memejam di sofa beberapa menit, eh tahu-tahu sudah terbangun di ranjang bang Yugi. Pria itu tidur di sebelah pula.
"Jam berapa ini?" tanyaku sambil mengucek mata.
"Jam empat. Ngantuk banget keknya. Begadang? Ngapain kamu?" Bang Yugi menggeser guling di antara kami.
Dia mendekat, aku baru tahu jika lelaki itu tak mengenakan baju.
"Kamu pernah datangi Renhard ke hotelnya pas kemarin dia ke Medan?" tanyanya tiba-tiba.
Alisku menyatu. Kuberi dia gelengan kepala. Pertanyaan tiba-tibanya kenapa random sekali?
"Yakin kamu nggak tidur di sembarang sofa pas di hotel dia? Dia gendong kamu juga, mindahin ke kasur?" tuduhnya lagi.
Otakku akhirnya paham tujuan pertanyaan-pertanyaan itu.
"Enggaaak," sahutku sengaja memanjangkan kalimat. Aku tahu dia pasti sedang cemburu, jadi perlu dilakukan trik khusus.
Sengaja aku bergeser, makin mendekat padanya. Kuberanikan diri menarik lengannya untuk dijadikan bantal. Lelaki itu tidak menolak, malah memelukku erat.
"Renhard pernah kamu diginiin juga?" tuduhnya belum habis-habis.
"Pas bang Renhard ke sini, dia kerja. Mana ada waktu tidur siang macam kau."
"Jadi, kalau dia ada waktu, kamu mau nyamperin ke hotelnya?" Pria itu mendorong bahuku agar kami bisa saling berpandangan. Sorot matanya menajam, menuduh dan menuntut.
"Kau mau dengar aku kasih jawaban apa?" sahutku kesal. "Dibilang enggak, kau enggak percaya. Mau kujawab iya aja sekalian?" Daguku naik menantangnya.
Lelaki itu menekuk alis. Jemarinya menjepit pipiku sebentar, sebelum kemudian memeluk lagi. "Awas kamu berani begini sama Renhard."
"Apa alasannya aku pelukan di ranjang sama bang Renhard?"
"Siapa tahu kamu masih pengen perjodohan kalian dilanjutkan?"
"Orang gila!" ejekku kurang ajar.
Dia menunduk dan menatapku runcing. "Kamu berani ngatain aku?"
Aku mengangguk. "Aku, tuh, sebenarnya gini mulutnya. Kurang ajar. Selama ini, aku yang manis-manis itu cuma pencitraan karena mau kelihatan baik di matamu."
Bukannya marah, mata bang Yugi malah menyipit karena sekarang dia tersenyum. "Kenapa pengen kelihatan baik di mataku?"
"Ya, kan, kau itu dulu idola aku. Dokter, ganteng, suka bikin kegiatan sosial yang nolong banyak orang. Jelas aku pengen kelihatan manis dan baik di matamu."
Dia mengangguk penuh canda. "Jadi, sekarang nggak pengen kelihatan manis dan baik lagi di mataku? Kenapa? Karena udah tahu kalau aku udah setergila-gila itu ke kamu?"
Kelopak mataku mengerjap lambat? "Apa?" tanyaku heran.
"Apa?" balasnya sengaja ingin mengerjai.
Mendengkus saja, aku merapatkan wajah ke dadanya. Pria itu balas merangkul leher. Bibirnya mendekat ke telinga, kemudian membisikan banyak rayuan yang nyaris membuatku lupa daratan.
"Aku, tuh, sayang banget."
"Manis banget. Chat-nya dibalas di waktu mepet, kadang pas udah mau tengah malam, nggak pernah marah. Nggak pernah nuntut aku harus ngabarin tiap saat."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?