Kata orang: Masalalu biarlah berlalu, biarkan ia bagai hujan yang hilang setelah mentari menyapamu. Nyatanya, berapa tahun pun tak bisa menjadi pengobat duka masa itu, aku masih sama... Hidup dalam deraian duka di bawah guyuran hujan yang sangat derasnya ..
***
"Selamat, Janu... Kamu dapat beasiswa ke Turki... Selamat!!!" Sorakan riang memekak gendang telinga, namun tak mampu tuk menembus duka di dada.
"Janu, kamu kenapa? Bukannya ini impian kamu?" Temanku yang satu ini sangatlah cerewet, namanya Lisa.
Aku membuang kertas kebahagiaan itu ke lantai, membenamkan wajahku di kedua lututku. "Buat apa, Lis? Afgan sudah nggak ada. Aku nggak mau lagi ke sana." Isakan yang tak tertahan perlahan nampak terdengar samar.
"Kamu nggak bisa bohongin diri kamu sendiri, Janu. Kamu pasti masih sangat ingin mewujudkan impianmu dengan Afgan kan? Buktinya, kamu bisa bertahan sejauh ini."
Lisa memegang pundakku, ia kemudian membelai surai pendekku yang sebahu. "Janu, Afgan pasti bahagia dengar kabar ini. Sudah hampir empat tahun lamanya setelah kepergiannya, ia pasti sangat menginginkan kamu melanjutkan impiannya, impian kalian berdua. Wake up please, Janu. Kamu nggak mau bikin Afgan tersenyum bahagia di alam sana?"
Perlahan kata-kata Lisa menusuk ke lubuk hatiku. Benar, sudah hampir empat tahun lamanya saat tangisanku luruh di bawah guyuran hujan yang menerpa dukaku. Tapi, kenapa aku masih mengusahakan hal itu sampai sejauh ini?
Aku perlahan bangkit, melenggang meninggalkan Lisa yang masih duduk di lantai yang beralas tikar. Tanpa kata, aku keluar dari rumahnya dan melaju dengan kencang menggunakan motor RX king-ku.
Sepanjang jalan aku terbayang akan kata-kata Lisa tadi, sepertinya aku terhipnotis oleh kata-katanya. Tapi, apa iya aku akan pergi ke Turki tanpa Afgan?
Ombak angin menerpa rambut wolfcut dengan warna brown ini, sesenggukan di atas motor memang sangatlah tidak ada duanya. Angin kencang berganti dengan rintik hujan yang perlahan menyapaku, aku enggan untuk berhenti dan berteduh di pinggir jalan.
Sesampainya di depan kuburan yang telah merata dari onggokan, ditumbuhi hijaunya rumput yang tertata rapi nan harumnya aroma kelopak bunga yang berhamburan di atasnya, aku kembali menangis dan menjerit lagi. Berulang kali, kian tahun ini adalah tempat favoritku, tempat istirahat Afgan untuk selamanya.
"Afgan, kau lihat aku? Aku harus apa sekarang, bisakah aku meraih impian kita tanpamu? Jawab aku Afgan...Haaaaaaa..."
Lapang rasa hatiku setelah menjerit di sini, di tempat yang sunyi dari buaian perkataan manusia ini.
"Tuhan, apakah kau mendengarku? Ambil nyawaku sekarang juga.... Aku bilang ambil nyawaku, Tuhan!!! Tunggu apalagi?"
Perlahan desiran hujan tak lagi kurasa, suasana hening di tanah yang basah dan bergenang. Seseorang tengah duduk di sampingku.
"Afgan? Kamu Afgan kan?" pagutku tak percaya.
"Janu, mana kerudungmu? Bukannya aku sudah bilang kalau kamu cantik pakai itu."
Aku menatap wajahnya yang pucat itu, senyuman indah itu masih sangat lekat bertengger di bibir manisnya.
"Afgan, kamu masih hidup?" Kuraba perlahan wajahnya, batang hidungnya yang mancung itu, gegas kupeluk erat tubuhnya. Bagai pelangi yang datang setela hujan reda, hatiku sungguh berwarna.
"Janu, pergilah ke Turki dan berbahagialah! Aku akan selalu ada bersamamu, di dalam lubuk hatimu..."
Kyakkk...
Di mana pelukan hangatku? Afgan? Afgan.... Bertahanlah lebih lama!!!Aku terbangun dari mimpi indahku, hanya batu nisan yang sedang kupeluk itu. Hampa kembali menerpa rasa, mimpi yang paling aku inginkan sepanjang hidupku. Afgan, tetaplah hadir di setiap mimpiku....
Setelah membersihkan badan dan berganti pakaian, aku duduk memandang wajahku di pantulan cermin yang nampak buram dan retak. Jemariku mengelus lembut kain panjang yang polos berwarna biru muda, kain yang pernah aku kenakan beberapa tahun yang lalu.
"Afgan, apa istimewanya kain ini? Kenapa kamu sangat menyukaiku mengenakannya?" Kupasang di kepala melingkar hingga ke dagu. Rambut yang berwarna brown itu tak terbalut dengan sempurna.
"Cantik?" Aku terngiang ucapan Afgan setiap kali melihatku mengenakan kain penutup kepala. Dia selalu tak melepaskan pandangannya dariku. Tapi, berat rasanya untuk kembali mengenakannya. Entah mengapa, aku selalu saja ingin meneteskan air mata saat melihat wajahku yang mengenakan kain penutup kepala ini.
"Arghhhh... Tidak berguna, itu tidak akan membuat Afgan kembali padaku!" Kulemparkan kain itu ke lantai, cabikan kesal kembali menyesakkan dada.

KAMU SEDANG MEMBACA
January for günaydın cinta
JugendliteraturApa yang kau harapkan dari bulan januari? Puncak hujan yang memberikan ketenangan dari bisingnya gendang telinga yang telah rapuh untuk mendapati segala tanya dan kabar cela, atau sebuah sunyi yang tak kunjung reda tanpa suara tawa?