Rencana Pertama

1 0 0
                                    

Hari ini aku telah siap berperang melawan Rambo. Bos Rambo adalah preman terkuat di kampung ini, lebih tepatnya kepala para preman. Bukan hanya Bos Rambo saja, aku harus berurusan dengan puluhan anak buahnya. Aku sudah yakin dengan sangat yakinnya untuk misi ini tidak ada keraguan sedikitpun di benakku karna saat ini aku sedang berada di jalan yang benar, menegakkan hak asasi manusia yang telah dirampas oleh Bos Rambo.

“Ummi Janu izin mau ke rumah Arga ya Mi!” pamitku.

“Titipkan salam Ummi ya buat Abah sama Ummahnya Arga!” ujar ummi. Aku mengangguk mengiyakan dan berangkat ke rumah Arga menggunakan mobil.

Sesampainya di halaman rumah Arga, Arga menyambutku dan membukakan pintu mobil “Silahkan tuan puteri!" ujarnya mempersilahkan.

Aku tersenyum melihat tingkahnya Arga yang masih sama seperti dulu “Emang kamu nggak ada berubahnya ya Ga,” ucapku.

“Assalamu’alaikum Abah, Ummah.” Aku mengucapkan salam kepada abah dan ummah yang sedang santai minum kopi dan makan pisang goreng di teras rumah.

“Wa'alaikumussalam,” jawab mereka.

“Gimana, udah siap semuanya?” tanya abah.

“Sudah Bah, tinggal restu dan do'a  Abah sama Ummah aja,” jawabku.

Arga menyambar. “Restu? Restu apa ini?” Arga menggerakkan keningnya menatapku dengan mata liciknya.

“Apaan sih kamu, Ga.”

Ummah memegang kedua bahuku. “Kamu yakin, Nak? Ini misi yang sangat berat untuk seorang wanita.” Ummah mulai ragu.

Arga meraih tangan ummah. “Tenang Ummah, ada Arga yang akan selalu menjaga Janu, Ummah do'akan saja agar kami berhasil dan selamat,” ucapnya untuk melipur kegundahan hati ummah.

“Iya Ummah, Ummah tenang saja dan jangan khawatir!” timpalku.

“Yasudah kalian berdua hati-hati, ikuti apa yang Abah bilang kemarin. Saran Abah kalian kesana jangan pakai mobil karna akan sulit di kampung kita yang sempit ini jika dengan mobil,” jelas abah.

“Tenang Bah, kita ada transportasi yang lain,” jawab Arga lalu melirikku. Aku tahu apa yang dia maksud, pasti sepeda yang kemarin dia bawa untuk mengajakku ke danau.

Aku pun mengacungkan jempol ku menyetujui.

“Mang kami pinjam lagi ya sepedanya,” teriak Arga kepada Mang Sule yang sedang sibuk memandikan kerbau.

“Lah Mang Sule pulangnya pake apa?” ujar Mang Sule.

“Minta anter sama Dimbo aja Mang,” jawab Arga sambil bergegas menginjak pedal sepeda.

Dimbo itu adalah nama kerbau milik mang Sule.

Arga mengayuh sepeda dengan kencangnya. “Arga jangan kencang-kencang, nanti aku jatuh!”

“Ya pegangan lah biar ndak jatuh,” jawab Arga dengan santai nya.

“Katanya bukan mahram?” ujarku.

“Maksudnya pegangan di bangku sepedanya bukan di pinggang Abang. Hahay.” Arga mengejekku lagi.

“Abang, Abang,” ucapku dengan nada meledek.
                                   ***
Akhirnya kami telah sampai di depan istana bos Rambo, rumahnya sangatlah megah dan dijaga oleh orang-orang berbadan kekar.

“Janu, kamu yakin mau masuk?” tanya Arga, aku mengangguk pelan.

“Ini jangan sampai mati ya, aku akan memantaumu dengan alat ini.” Arga menyerahkan alat pengintai padaku.

January for günaydın cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang