“Janu,” panggil Ahmed.
“Iya,” jawabku pelan.
Suasana makan malam yang menurutku sangatlah romantis, ditemani lilin-lilin serta lagu romantis Turki yang di setel sangatlah tidak pernah terbayang di otakku. Di selat bosphorus di dalam kapal, hanya ada nahkoda dan kami berdua serta beberapa pelayan. Sepertinya Ahmed telah menyewa tempat ini, hingga hanya kami penumpang yang ada.
“Tunggu sebentar!” ujar Ahmed.
Aku mengangguk perlahan.
Ahmed meminta musik dimatikan, dia memegang sebuah biola lalu memainkannya di depanku.
Aku baru tau bahwa seorang Ahmed juga bisa bermian biola. Alunan yang sangat lembut menyentuh hati. Ditemani sinar bulan yang menembus bumi yang gelap malam ini.
Aku tidak bisa menghentikan senyumku, senyuman merekah tanpa henti. Ahmed memang sangat pandai membuatku baper dan kagum padanya.
Aku memberikan tepuk tangan yang keras untuk Ahmed.
“Gimana, suka?” tanyanya.
“Suka,” jawabku.
“Ayok makan!” pinta Ahmed.
Aku mengambil pisau serta garpu, lalu makan dengan sangat nikmat, begitupun Ahmed yang tidak henti-hentinya matanya menatap kearahku, saat pertama-tama Ahmed menatapku sambil tersenyum manis, kemudian saat makanan hampir habis kulahap, wajah Ahmed berubah jadi cemas.
“Janu, apa kamu menelannya?” ucap Ahmed panik.
Aku merasa ada benda keras di makananku seperti di film-film, aku menebak itu pasti adalah sebuah cincin, cuman aku ingin melihat reaksi Ahmed. Sebenarnya aku sudah mengeluarkannya dari mulutku saat aku menyapu bibirku dengan tissue dan telah kupasang di jari manisku, tapi Ahmed tidak menyadarinya.
“Ya kalau nggak ditelan diapakan?” ujarku menganga untuk menunjukkan pada Ahmed bahwa mulutku kosong.
Ahmed mulai pucat. “Tap, tapi Janu. Itu tadi ada... Ada”
“Ada apa?” Aku berusaha mengarahkan mata Ahmed pada jari manisku.
Ahmed tersenyum. “Janu, kamu ini. Aku takut tau kirain kamu telen tuh cincin,” ujar Ahmed yang menyadari cincin miliknya telah terpasang di jari manis ku.
“Janu....” Mata Ahmed berbinar-binar.
Aku mengangguk senang. Aku telah memutuskan untuk mempercayai Ahmed sebagai pendamping hidupku, meski masih ada sedikit rasa bimbang di hatiku. Namun aku berusaha menangkis rasa itu.
• * *Mentari telah menyinari kota Turki, bulir awan telah membentuk segerombolan bentuk-bentuk yang terlihat abstrak. Aku tersenyum bahagia melihat cincin yang melingkar di jari manisku.
“Ahmed,” gumamku, yang membuat beberapa hariku belakangan ini terasa berarti.
Dering telepon, gawaiku bergetar menandakan sebuah panggilan telepon.
“Pretty,” gumamku melihat nama yang tertera.
Aku langsung mengangkatnya. ‘Hallo Pretty.’

KAMU SEDANG MEMBACA
January for günaydın cinta
Novela JuvenilApa yang kau harapkan dari bulan januari? Puncak hujan yang memberikan ketenangan dari bisingnya gendang telinga yang telah rapuh untuk mendapati segala tanya dan kabar cela, atau sebuah sunyi yang tak kunjung reda tanpa suara tawa?