"Shadaqallahul'adziim.” Aku memeluk mushaf warna cokelat yang berukuran sedikit lebih besar dari telapak tanganku.
Air wudhu yang tadinya membasahi wajahku sekarang sudah mengering dan meninggalkan rasa lembab di wajah. Saat aku berada dalam rumah, penghangat ruangan tidak pernah mati karna itulah yang membuatku bisa bertahan dari dinginnya suhu di Turki, apalagi untuk malam hari.
Mukenaku tidak langsung aku lepaskan, niatnya aku mau melanjutkan tulisanku yang mana bukunya berada di dalam tas yang tergeletak di atas meja, tapi mataku tertuju pada kamera milik Ahmed yang kubawa karena tadi siang Ahmed lupa membawanya. Aku urungkan niatku untuk menulis lalu berusaha meraih kamera yang tergeletak di dekat tasku.
Aku perhatikan setiap sudut dari kamera itu, kalau dilihat-lihat ini adalah kamera yang harganya sangat mahal yang biasa dipakai oleh para fotografer yang memang sudah berada di level atas.
Aku pun mencoba melihat foto-foto yang Ahmed ambil dengan mencabut memory card kamera Ahmed dan memasangnya pada laptopku. Terlihat dari hasil foto-fotonya sangat menggambarkan Ahmed sangat suka dengan pemandangan, karena sangat banyak foto pemandangan di memori kameranya.
Banyak pula foto dirinya sendiri dengan berbagai macam gaya bak seorang model.
“Tampan juga ternyata,” gumamku sembari tertawa kecil.
“Ih apaan sih kamu Janu,”aku menggelengkan kepalaku.
Saat asyik melihat-lihat beberapa foto, aku terkejud saat melihat foto serta video yang mirip sekali dengan wajahku. Aku pun membuka foto serta video itu dan benar bahwa itu semua adalah diriku, ternyata Ahmed banyak sekali memoto serta memvideoku secara diam-diam.
“Kenapa? Kenapa Ahmed?” Otakku berusaha mencari-cari jawaban dari pertanyaanku sendiri.
Ingatanku mulai menjamah flashback pada waktu Ahmed pertama kali datang menemuiku dan memperkenalkan dirinya.
Aku menggigit ujung kuku pada jari telunjukku “Sebenarnya apa maksudnya?”
Aku yang bingung memikirkan hal ini dengan pikiran buntu, kuputuskan menyalin semua foto yang ada pada memory card Ahmed ke laptopku karna nanti ingin aku diskusikan dengan Pretty.
Gawaiku bergetar, menandakan ada sebuah panggilan masuk, aku pun mematikan laptopku dan menutupnya. Ternyata sebuah panggilan video dari mbak Yuli.
“Assalamu'alaikum Mbak Janu.” Nampak dari layar gawaiku wajah mbak Yuli yang sedang tersenyum lebar.
“Wa'alaikumussalam, Mbak Yul.” Aku melambaikan tangan.
“Mbak Yul apa kabar?” sambungku.
“Alhamdulillah sehat, oh iya coba lihat ini siapa?” Mbak Yuli mengarahkan gawainya kearah perempuan yang sedang sibuk dengan mesin jahitnya.
“Ummi..”panggilku.
Dengan sigera ummi melepas pekerjaannya “Janu anak Ummi, gimana di sana, Nak? Kamu ndak kenapa-napa kan?”
“Alhamdulillah Janu baik-baik saja di sini Ummi,” jawabku dengan wajah yang sangat dekat dengan gawaiku.
“Alhamdulillah kalau gitu, Ummi khawatir kalau kamu kesulitan di sana,” ujar Ummi sembari memegang tangan mbak Yuli.
KAMU SEDANG MEMBACA
January for günaydın cinta
Teen FictionApa yang kau harapkan dari bulan januari? Puncak hujan yang memberikan ketenangan dari bisingnya gendang telinga yang telah rapuh untuk mendapati segala tanya dan kabar cela, atau sebuah sunyi yang tak kunjung reda tanpa suara tawa?