Angin sepoi-sepoi menyejukkan badan dan pikiranku, rasa lelah perjalanan rasanya sudah tidak terasa lagi berganti rasa ketenangan. Di ranting pohon rambutan yang tumbuh dekat rumah cinta induk burung dara yang sedang memberikan anak-anaknya makan pada sarangnya yang terbuat dari rerumputan kering. Bersigera aku mengeluarkan kameraku dari dalam tas.
"Wah ini angel yang bagus nih," ucapku sambil menghidupkan kamera.
{Suara jepretan kamera}
"Asatgfirullahal'adzim." Arga kaget melihat sedikit cahaya kamera, karna dia mengira itu kilatan petir.
"Apaan sih kamu Ga, malah istighfar," ucapku.
"Tak kirain tadi ada kilat, ternyata kamu toh lagi moto." Arga gegas duduk di sebelahku langsung menyerahkan sebuah rangkaian bunga yang terbuat dari akar tumbuhan yang dililit menjadi bentuk bulat dan ditempeli bunga-bunga.
"Wah mahkota puteri." Segera kuambil dari tangan Arga.
Waktu kecil Arga memang sering membuatkanku mahkota puteri itu, apalagi saat aku ngambek, dia selalu membujukku dengan mahkota itu. Dan kami selalu menghanyutkannya di danau dan mengirimkan pesan dan permintaan kami.
Kupasang mahkota itu di kepalaku "gimana, cantik nggak?" ucapku sambil bergaya ala tuan puteri kerajaan.
Arga tersenyum meihatku "Wah tuan puteri sangat cantik. Sini kameramu biar aku fotoin." Arga merampas kameraku.
"Kamu juga bisa moto? yaudah fotoin." Aku menyerahkan kamera ku lalu bergaya ala model terkenal.
Beberapa foto dan gaya telah terekam di kamera, "Mana-mana hasilnya aku mau lihat," ucapku sambil mendekati Arga yang sedang memencet-mencet kamera.
"Nah gimana, baguskan hasil jepretanku?" ucap Arga dengan sombong.
Aku mengerenyitkan dahi mendengar kesombongannya "Jelas baguslah yang difoto cantik," kubalas dengan kesombongan juga.
"Aduh." Mataku kemasukan debu.
"Kenapa Janu, kelilipan ya?" tanya Arga.
Aku mengangguk sambil menggosok mataku."Jangan digosok, sini-sini aku tiupin biar kotorannya keluar." Arga meraih tanganku lalu meniup mataku, kini jarak wajahnya dengan wajahku sangatlah dekat. Dekat, sangat dekat sekali, hampir tidak ada jarak saat aku menatap matanya, Arga pun menatap dalam mataku, sangat dalam.
Arga denganku terbawa suasana, hening dan sepoi-sepoi angin menemani kami, entah mengapa Arga semakin lama semakin mendekat sepertinya dia..
"Plak," tamparan meluncur tepat di pipi kiri Arga.
Aku menatap telapak tanganku tak percaya aku bisa melakukan hal itu pada Arga.
"Janu, maafin aku. Aku khilaf," ucap Arga sambil memegang pipinya yang bekas tamparan.
Aku tak bisa mengendalikan emosiku, kenangan bersama Dion kini kembali menghantui pikiranku. Aku pergi meninggalkan Arga dan segera masuk kedalam rumah dan menuju kamar tanpa menghiraukan nenek, ummi dan kakek.
"Janu, kamu kenapa?" tanya ummi yang melihatku berlari kencang menuju kamar. Aku tak mengiraukan apa yang ummi katakan. Kukunci pintu kamar rapat-rapat lalu kurebahkan badanku di kasur dan menutup mulutku agar tangisan tidak terdengar keluar kamar.
Bayangan masalalu itu teringat kembali, saat di mana aku dengan Dion melakukan hal yang sangat bodoh. Bayangan wajah Dion kini memenuhi otakku. Bagaimana caranya aku bisa menenangkan pikiranku sedang minuman penebangku tidak bersamaku? Dosa ini selalu menghantui hidupku.
Sedangkan Arga masih diam termenung menyesali apa yang sudah hampir dia lakukan, dia tidak menyangka dia hampir saja melakukan hal itu kepadaku. "Arga, apa yang baru saja kamu lakukan? Itu perbuatan yang sangat kotor Arga," ucapnya sambil menggenggam tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
January for günaydın cinta
Fiksi RemajaApa yang kau harapkan dari bulan januari? Puncak hujan yang memberikan ketenangan dari bisingnya gendang telinga yang telah rapuh untuk mendapati segala tanya dan kabar cela, atau sebuah sunyi yang tak kunjung reda tanpa suara tawa?