Aku melahap habis osengan tahu tempe buatan ibu yang selalu menjadi menu favoritku. Osengan pedas manis dan sedikit rasa asam itu adalah resep dari nenekku yang dulu selalu memasakkan ini untuk kami saat kami pulang ke kampung. Ini juga adalah menu kesukaan ayah dengan ummi, ayah selalu berkata "ummi adalah chef terhebat di dunia." padahal ummi tidak pandai memasak dan sering kali masakan ummi itu gosong ataupun keasinan, tapi ayah tidak pernah sama sekali mencela masakan ummi bahkan menggantinya dengan pujian yang lembut dan osengan tahu tempe ini adalah menu ummi yang tidak pernah gagal diantara masakan-masakan ummi lainnya.
Mbak Yuli terpogoh-pogoh berlari dari dalam bilik kamar masih dengan mukenanya karna dia baru selesai melaksanakan shalat isya.
"Ada apa Mbak?" tanyaku.
Mbak Yuli menghela nafas "Mbak Janu, aku boleh izin pulang kampung?" ucapnya dengan mata berbinar.
"Iya, iya, coba tenang dulu! Ini sebenarnya ada apa? Kok Mbak tiba-tiba izin pulang?"
"Bapakku Mbak, Bapakku di kampung masuk rumah sakit." Air matanya meluncur.
"Innalillahi, sakit apa Mbak? Sini duduk sini cerita sama aku!" Aku menyuguhkan kursi lalu mbak Yuli duduk dengan gelisah.
"Penyakit jantung bapak kambuh Mbak, aku takut bapak kenapa-napa. Ibu cuman sendiri di sana Mbak."
Aku merebahkan kepalanya di bahuku lalu mengelusnya pelan "Yasudah kita berangkat malam ini, tapi kamu tenang dulu. Masa kamu pulang dengan keadaan kayak gini, nanti Ibumu makin sedih. Kamu harus tabah Mbak!" Aku berusaha menenangkan hati mbak Yuli.
Mbak Yuli mengangguk pelan
"Yasudah ganti baju gih sana siap-siap. Aku mau pamit sama Ummi dulu.
Mbak Yuli beranjak dari kursi lalu menuju kamar dan akupun mencari ummi karena sekarang kami di rumah Ummi sejak magrib tadi.Ku intip sedikit pintu kamar ummi yang tidak tertutup rapat, terlihat ummi sedang mengelus sebuah foto berbingkai, tidak lain itu adalah foto ayah waktu muda. Ku ketuk pelan pintu kamar secara perlahan.
"Ummi."
Terlihat ummi gegas menyeka air matanya "eh Janu, ada apa Nak?" terukir senyuman tipis dari bibirnya.
Aku langsung memeluk ummi. "Ummi nangis, kenapa? Ummi pasti kangen sama Ayah."
Ummi mencium pucuk kepalaku dan terdengar dengkusan tanda ummi sedang menangis "Ummi cuman mau bilang ke Ayah, kalau anak gadisnya ini sangat hebat dan shalihah. Andai Ayah masih ada, pasti dia bangga, Nak. Terimakasih karna telah menjadi anak yang berbakti."
'Shalehah?' Batinku rasanya sangat sakit, andai ummi tau bahwa anak gadisnya ini bukanlah seorang perawan lagi. Andai ummi tau bahwa anaknya ini telah menjatuhkan martabatnya, andai ummi tau, pasti ummi tidak sudi menyebut ku sebagai anak. 'Maafkan Janu, Ummi, Ayah,' batinku.
"Maaf, Mi. Janu masih belum bisa mengenakan kerudung."
"Secepatnya ya, Nak!"
Itu adalah harapan besar ummi, melihat anak perempuannya ini mengenakan kerudung. Samahalnya dengan kehendak Afgan, dia pernah memaksaku mengenakannya dan berhasil dalam beberapa bulan saja.
"Oh iya kenpa nyariin Ummi jam segini?" Ummi melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahuku sambil menatap mataku.
"Anu Ummi, Janu mau izin nganter Mbak Yuli ke kampung. Soalnya Bapaknya Mbak Yuli dibawa kerumah sakit karna penyakit jantungnya kumat," jelas ku.
"Innalillahi, tentu boleh sayang. Kalau gitu Ummi ikut sekalian kerumah nenek udah lama nggak kesana."
"Iya Mi, Janu kangen Kakek sama Nenek."
Kami bertiga telah bersiap untuk pergi ke kampung, tinggalah pak Yanto satpam rumah kami.
"Pak nitip rumah ya, kami mau ke kampung beberapa hari," ucap ummi.
"Siap Bu, hati-hati di jalan... Non Janu hati-hati!" ucap Pak Yanto.
Aku dengan ummi mengangguk pelan******
Tepat pukul tiga pagi kami akhirnya sampai di kampung tempat tinggal mbak Yuli yang juga menjadi kampung tempat tinggal kakek dan nenekku. Mbak Yuli dan ummi sudah tertidur pulas di dalam mobil, aku menatap sekitar. Tempat ini adalah yang indah untuk masa kecilku dimana aku bisa punya banyak teman bermain. Tapi, juga menjadi tempat yang menyimpan kenangan derai air mataku dan tawa."Mbak Yuli, Ummi, kita sudah sampai!" ucapku sambil membangunkan mbak Yuli dengan ummi yang tertidur pulas.
"Tok..tok..tok" Ada yang mengetok pintu mobilku, aku membuka sedikit kaca mobil melihat siapa yang mengetok mobilku jam segini.
"Janu," ucap lelaki berhidung mancung dengan rambut yang sedikit ikal, berkulit sawo matang, sepertinya dia mengenalku. Aku tersenyum manis dengan lelaki itu sambil otakku bertanya 'siapa dia?'
Seolah lelaki itu mengetahui apa yang terbesit di otakku "Janu ini aku Arga."
"Arga?" Otakku berusaha mengingat nama itu.
"Iya Arga, masak kamu lupa sama sahabat mu ini? Sepupunya Afgan," jelasnya.
Aku berusaha flashback otakku. "Oh Arga anaknya abah." Akhirnya aku menangkap kenangan bersamanya diwaktu kecil.
"Nah, itu!!"
Arga, dia adalah temanku waktu aku kecil, dia sangat akrab dengan ayahku. Setiap aku berkunjung kerumah nenek, Arga selalu mendatangiku, dia sangat hafal dengan bunyi mobilku ini, iya ini mobil ayahku, meski mobil ini sudah tua dan ketinggalan jaman, tapi aku tidak mau menggantinya karna aku ingin ayah selalu menemani langkahku.
Arga sepupunya Afgan, namun Afgan tinggal di kota sedangkan Arga tinggal di kampung. Saat aku berkuliah, Afgan sering cerita mengenai Arga. Argh, sudah sangat lama tidak bertemu dengannya.
Mendengar keributan kami, ummi dengan mbak Yuli terbangun dari tidur mereka.
"Arga.. Ini Arga kan." Ummi langsung saja mengenali Arga. Arga mengangguk dan tersenyum ramah masih dengan posisi pintu mobi tertutup dan Arga menunduk memasukkan kepalanya kedalam mobil dari kaca jendela mobil yang kubuka.
"Ummi sama Janu ada perlu apa ke kampung?" tanya Arga.
Belum sempat ummi denganku menjawab, Arga langsung memotongnya.
"Yuli, Bapakmu dibawa ke rumah sakit." Muka Arga berubah panik.
"Nah maka dari itu, kami ke kampung buat nganterin Mbak Yuli sekaligus pengen kerumah nenek," jelasku.
"Kamu sendiri ngapain jam segini keluyuran di luar?" tanyaku.
"Biasalah," jawab Arga dengan ekspresi lucunya.
"Yasudah cepetan kita kerumah sakit. Arga kamu mau ikut?" ujar ummi.
"Tentu Bu," jawab Arga.
"Yasudah masuk!" Aku membukakan pintu mobil lalu Arga masuk dan duduk bersebelahan denganku.
Kami pun menuju rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, mbak Yuli langsung berlari mencari ibunya. Ternyata ibunya sedang duduk tersendu di ruang tunggu depan kamar pasien, langsung saja mbak Yuli memeluk erat ibunya itu.
"Bu, Bapak gimana?" tanya mbak Yuli yang membuat suasana menjadi haru.
Ibunya menggeleng, menandakan bahwa belum ada kabar baik yang diterimanya.
Aku, ummi dengan Arga terlarut dalam suasana.Ummi mendekati ibu dengan anak itu. "Yang sabar ya, do'akan saja semoga Bapakmu baik-baik saja dan lekas sembuh!"
Aku menoleh ke arah Arga yang terdiam kaku, Arga pun tersenyum ke arahku.
{Dering telpon} aku bergegas memencet mode senyap pada gawaiku. Panggilan dari nomor tanpa nama pemiliknya. Sengaja tidak aku tanggapi karna bisa mengganggu keadaan yang sedang haru.
"Angkat dulu gih!""Bukan orang penting!" jawabku.
"Eumm bukan orang penting apa pacarnya?" Arga menggodaku.
"Apaan sih Ga," jawabku ketus.
"Sudah jangan malu-malu kucing, akui saja!"
Aku menempelkan jari telunjukku ke bibir memberikan tanda pada Arga agar dia bisa diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
January for günaydın cinta
Fiksi RemajaApa yang kau harapkan dari bulan januari? Puncak hujan yang memberikan ketenangan dari bisingnya gendang telinga yang telah rapuh untuk mendapati segala tanya dan kabar cela, atau sebuah sunyi yang tak kunjung reda tanpa suara tawa?