Istana Topkapı

3 0 0
                                    

Hari ini kami ingin ke istana topkapi yang letaknya tidak berjauhan dengan Hagia Sophia yang kami kunjungi kemarin.

Namun ,kali ini kami pergi menggunakan alat transportasi darat yakni kereta. Saat kita ingin menaiki suatu alat transportasi kita harus memiliki kartu atau yang disebut dengan Istanbul card terlebih dahulu.

"Naik kereta kan?" tanya Ahmed.

"Iya," jawabku dengan riang.

Kami pun menuju kereta yang akan kami naiki, sungguh sangat canggih dan bagus setiap alat transportasi di Turki ini. Ini pertama kalinya aku menaiki kereta api.
"Hai Janu!" sapa Sulhan yang ternyata juga naik kereta ini.

"Sulhan," ujarku.

"Mau kemana hari ini, biar aku yang menjadi pemandu wisatamu," ujar Sulhan dengan sangat santai. Ia berbeda dengan Ahmed.

Aku tersenyum mendengar ucapan Sulhan yang pandangannya sambil menggoda Ahmed.

"Heh kawan, ini job ku." Ahmed mengelak.

"Ya nggak apa-apalah, Janu aja mau. Kan Janu?" tanya Sulhan.

Aku hanya menjawabnya dengan senyuman tipis.

"Tuh kan dia nggak mau sama kamu Sulhan," ucap Ahmed bangga.

"Eh dia nggak bilang nggak mau. Ingat, diamnya wanita itu artinya mau. Betulkan Janu?" Sulhan menggerakkan alisnya.

"Eh nggak ada yang kayak gitu," sangkal Ahmed.

Mereka berdua beradu mulut seperti anak kecil yang sedang merebutkan permen, aku duduk santai lalu mengeluarkan buku catatanku dan mulai menulis.

Setelah beradu mulut mereka berdua tertawa bersama. Kereta sebentar lagi berangkat, semua penumpang diharapkan duduk dan suara pertengkaran antara Ahmed dengan Sulhan pun lenyap.

* * *

(Jepret) kameraku mengambil setiap pemandangan yang terekam indah di mataku.

"Oh iya Ahmed, Janu. Aku pamit dulu ya soalnya ada urusan mendadak," ujar Sulhan.

Aku dengan Ahmed mengangguk mengiyakan lalu Sulhan pergi meninggalkan kami.

"Ayok Janu ikuti aku. Di depan sana istana topkapi!" pinta Ahmed, dia berjalan di depanku.

"Nah ini dia museum topkapi atau istana topki atau yang disebut dalam bahasa Turki adalah topkapi sarayı." Ahmed kembali ke mode serius sambil memperlihatkan istana Topkapi yang berada di hadapanku.

Aku mengangguk sambil merekap video sekitar.

"Menara keadilan itu dibuat tinggi supaya orang tau inti dari pemerintahan itu adalah keadilan."

"Coba lihat! Itu tulisannya apa?" tanya Ahmed sambil menunjuk tulisan di gerbang menara.

Aku memperjelas penglihatanku "Asyhaduallaailaaha illallahu wa asyhaduanna Muhammadar rasulullah," ejaku.

"Iya itu adalah tulisan syahadat, jadi tidak semua simbol itu dikaitkan degan suatu organisasi. Lambang di sana adalah suatu simbol yg menunjukkan bahwa kaum muslimin sangat membanggakan syahadatnya."

Aku mengangguk.

"Oh iya matikan dulu ya kameranya Janu, karna kita nggak boleh ngerekam di dalam!"

"Jadi nggak boleh?" tanyaku dengan nada kecewa.

"Iya nggak boleh," jawab Ahmed dengan lembut. Aku pun menyimpan kameraku ke dalam tas.

Saat memasuki halaman istana, aku sangat terkejut melihat betapa luas dan hijaunya kebun di jalan istana ini. Begitu menyejukkan mata apalagi istana ini berdekatan dengan laut.

"Ma syaa Allah," ucapku.

"Gimana, baru di luar aja sudah seindah ini kan, apalagi di dalam yang mana dipenuhi dengan emas dan kristal asli," ujar Ahmed.

"Ditambah lagi peninggalan Rasulullah dan para Sultan," sambungnya.

Aku terkagum mendengarnya "Wah, udah nggak sabar pengen masuk," ujarku.

"Yaudah cepetan!" pinta Ahmed. Aku pun mempercepat langkah kakiku.

"Sambil aku jelasin ya, Istana topkapı terbagi atas empat bagian besar yang dipisahkan oleh tiga gerbang utama," jelasnya.

Setiap ruangan kami masuki dari ruang keluarga, ruang pengajian, ruang konsultasi hingga ruang makan. Betapa mewahnya semua alat makan yang terbuat dari emas dan kristal. Kami juga ke ruangan perpustakaan Sultan Abdul Majid yang dipenuhi dengan buku, kemudian kami juga ke ruangan kedutaan dan banyak sekali terdapat lukisan para sultan yang menempel di setiap dinding, kemudian ada pula ruangan yang menyimpan pedang serta lencana para Sultan. Hingga sampailah kami pada ruangan yang sangat ingin kukunjungi, ruangan di mana dipenuhi dengan benda peninggalan milik rasulullah; dari jubah, rambut, gigi serta telapak kaki beliau yang dijaga dengan sangat baik. Ada pula peralatan Ka'bah; dari kunci, tempat meletakkan batu hajar aswad dan lainnya. Sungguh ini adalah perjalanan serta edukasi yang sangat bermanfaat untukku.

Selesai melihat-lihat kami pun keluar dari istana.

* * *

"Gimana, senang?" tanya Ahmed.

"Iya dong."

Saat kami berjalan-jalan ada anak kecil menghampiri kami sambil menyerahkan gantungan kunci kesayanganku yang tidak sengaja terjatuh.

"Teşekkur ederim," Ucap Ahmed sambil mengelus rambut anak kecil itu. Anak kecil itu hanya mengangguk lalu pergi.

"Hampir aja hilang,"ucapku sambil memeluk gantungan kunciku.

"Sepertinya benda itu sangat berharga untukmu?" tanya Ahmed.

"Iya benda inilah yang membawaku sampai kesini. Ini pemberian dari seseorang yang sangat berarti dalam hidupku,"ujarku yang tidak sengaja mataku menjatuhkan air mata.

"Kamu nangis? Yaudah kita ke cafe dulu!"ujar Ahmed dengan ekspresi panik.

Aku mengusap air mataku.

Dengan secangkir teh hangat membantu menenangkan otakku.

"Gimana, cerita dong soal yang tadi."Ahmed mulai kepo.

"Yang mana?"tanyaku pura-pura tidak peka.

"Gantungan kunci,"Ahmed mengeluarkan kata kunci.

"Ini pemberian dari lelaki yang sangat mencintaiku. Dia selalu melakukan apapun agar melihatku tersenyum bahagia. Dulu dia pengen banget ke Turki, tapi sayangnya.."ceritaku terputus karna aku tidak sanggup untuk melanjutkannya.

"Tapi apa? Sekarang dia kemana?"tanya Ahmed.

Aku menggeleng "Dia sudah nggak ada di dunia ini,"jawabku.

"Nggak ada gimana? Maksudnya udah meninggal,"Ahmed melelahkan suaranya.

Aku mengangguk mengiyakan apa yang Ahmed katakan, sedih kembali datang di hatiku. Bayangan saat melawan bos Rambo itu tidak pernah bisa ku lupakan.

"Ahmed anter aku pulang!"pintaku secara tiba-tiba.

"Kok pulang, Sal kamu oke?"

"Iya aku oke, cepet anterin aku pulang aku mau istirahat aja!"pintaku dengan nada memaksa.

"Baiklah,"jawab Ahmed.

Hati sedang galau mengingat Arga, aku sangat merasa bersalah atas kematiannya karna saat itu dia dalam keadaan ingin menolongku. Dan aku sangat mencintainya, belum sempat aku membalas semua jasanya dia telah pergi untuk selamanya.
Sesampainya dirumah yang disewakan untukku, aku langsung mengambil air wudhu laku melaksanakan shalat sunnah dan membaca Al-Qur'an. Karna abah bilang kalau kita sedang tidak baik-baik saja maka bersigeralah mengadu pada sang Kuasa.
Saat nikmat unik mah nya aku membaca Al-Qur'an sampai basah lembarannya karna air mataku. Gawaiku bergetar tanda ada sebuah panggilan telepon masuk.
Panggilan dari nomor yang tidak ku kenal, aku memutuskan untuk tidak mengangkatnya karna aku ingin fokus dengan bacaanku. Ingin fokus pada penciptaku. Rasanya sesak disana ini sedikit demi sedikit berkurang. Aku tanpa sadar tertidur lelap.

"Salsa," Arga memanggilku dengan pakaian putih dan semua serba putih. Aku mengikutinya dan betapa terkejutnya aku tiba tiba dia menghilang dari pandanganku.

January for günaydın cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang