Syaheena

1 0 0
                                    

Hari ini badanku serasa panas dingin, sepertinya demam telah menyerang tubuhku.  Hampir setengah hari setelah melaksanakan shalat subuh aku berbaring di kasur. Selimut tebal yang aku kenakan rasanya serba salah, kadang aku merasa sangat dingin tapi kadang juga panas. Nafas yang naik turun serta asam lambung yang kumat membuat dadaku terasa sesak. Ingin meminta tolong tapi pada siapa?

“Pretty.” Aku berusaha meraih gawaiku yang tergeletak di atas meja di dekat kasurku. Saat aku ingin menghubungi Pretty lewat whatsapp, ternyata berjejer panggilan tidak terjawab dari Ahmed dan beberapa chat dari Ahmed yang belum sempat kubuka.

[Janu, hari ini kita kemana?] chat pada pukul 08:30

[Janu, kamu di mana?] chat pukul 09:00

[Janu, kamu baik-baik saja?] chat pukul 09:12

[Janu] 10:25

[Hay!!!] 10:30

Aku membalasnya dengan voice note, karena untuk menekan chat rasanya sudah tidak terlalu kuat. Ditambah lagi kepalaku yang terasa sangat pusing membuat penglihatanku seperti berputar-putar.

‘Ahmed, aku sedang demam dan maghku lagi kambuh sedangkan aku kehabisan stok obat maghku.’  Voice note yang kukirim pada Ahmed.

Langsung saja voice note itu centang biru, tidak berapa lama Ahmed terlihat sedang merekam audio.

‘Kamu tunggu aja, jangan kemana-mana, istirahat! Sebentar lagi  Aku kesana bawain obat.’ Terdengar dari voice note yang Ahmed kirim itu dia sedang dalam keadaan panik.

Aku hanya diam mematung diatas kasur sembari berpikir.

"Ahmed akan kesini, berarti kami cuman berdua dong di sini," gumamku. Aku merasa gelisah akan hal yang baru saja aku sadari yang mana jika laki-laki dengan wanita berdua-duaan maka yang ketiganya adalah setan. Ingin rasanya aku mencegah Ahmed tapi mau bagaimana lagi hanya dia yang aku kenal di sini. Aku pun memutuskan untuk mengganti bajuku dengan baju yang lebih menutup dan tebal lalu aku memperbaiki posisi jilbabku.

“Janu,” panggil Ahmed yang sudah berada di kamarku.

“Ahmed,” jawabku yang berusaha membangunkan badan dari kasur.

“Jangan bangun dulu!” pinta Ahmed.

“Sya.” Ahmed memanggil seseorang, lalu datanglah seorang wanita berbadan ramping dengan tinggi badan yang tidak jauh melebihi tinggi badanku, ciri khas orang Turki sangat nampak pada wajahnya.

“Oh iya Janu, aku nggak enak kalo kesini sendirian. Jadi aku ngajak Syaheena,” ujar Ahmed.

“Alhamdulillah kalau begitu,” ucapku lega. Aku lupa bahwasanya Ahmed adalah orang yang taat dan mengerti tentang agama, jauh lebih mengerti dari diriku yang baru belajar tentang agama ini. Entah mengapa bayang-bayang Arga ada padanya, waktu Sulhan ingin menggandeng tanganku Ahmed melarangnya dengan ujaran bukan mahram, itu sama persis dengan Arga yang  waktu dulu yang setiap kali aku ingin  meggandeng tangannya,  Arga sangat tidak terima dan berucap sedemikian rupa.

Syaheena memegang tanganku dan berbicara dengan bahasa Turki, aku hanya melongo mendengarkan Syaheena karna aku tidak paham apa yang sedang dia katakan. Ahmed menatap kearahku yang terlihat bingung. “Syaheena bilang kamu udah makan belum?”

Aku menggeleng. “Belum.”

“Nih makan dulu, setelah itu minum obat!” Ahmed menyerahkan semangkok bubur hangat dan juga obat.

Bukannya bubur itu terlihat tidak enak di mataku, tapi aku memang tidak mempunyai selera untuk makan apapun.

“Kok cuman diliatin makanannya, sini aku suapin.” Ahmed mengambil bubur dan sendok yang aku pegang.

January for günaydın cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang