Tiada Kata Maaf

2 2 0
                                    

“Janu, kamu makan dulu gih! Di dapur ada osengan tempe sama tahu kesukaan kamu.”

“Nanti ya Mi, sisain buat nanti malem, Janu mau lanjut kerja dulu udah ada janji.” Aku meraih tangan ummiku.

“Iya, iya. Jangan pulang kemaleman ya!”

“Iya Ummi! Janu sama mbak Yuli pergi dulu. Assalamu'alaikum.” Aku beranjak pergi.

“Wa'alaikumussalam.”

                               *  *  *

{Suara musik}
Musik melo menemani langkahku hari ini, sambil menyetir mobil ditemani rintik hujan , sangat menggambarkan suasana hatiku saat ini. Mengapa? Mengapa dia harus datang kembali di kehidupanku ini, rasanya usahaku beberapa tahun belakangan ini telah gagal. Hati ini kembali berkabut pilu mengingat semua rasa sakit itu, air matalah yang menemani rasa sakit ini. Dion, aku membencimu.

“Mbak,” Mbak Yuli mengagetkanku.

Aku mengusap sedikit kesedihan yang terpancar pada bola mataku “Iya mbak ada apa?”

“Anu ini ada pesan, katanya pemotretan ndak jadi di tempat kemarin," ucap mbak Yuli sambil menunjukkan gawaiku.

“Lah terus gimana?”

“Anu katanya tempatnya diganti, di taman deket tugu pahlawan Mbak,” jelas mbak Yuli.

“Huh, yasudah kita putar balik,” ucapku dengan ekspresi malas.

10 menit perjalanan akhirnya kami sampai di tempat tersebut rintik hujan telah berhenti, berganti dengan cahaya matahari yang menerangi bumi. Tempat ini, tempat dimana Dion pertama kali mengucapkan rasa cintanya padaku tepat tanggal 01 Januari 7 tahun yang lalu, ku pikir, itu adalah hari yang paling bahagia di hidup ku ternyata itu adalah awal dari rusaknya kepercayaanku dengan yang namanya cinta. Hingga datanglah Afgan, sebagai pengobat luka. Namun, dia juga pergi meninggalkanku untuk selamanya.

“Mbak, tunggu apalagi? Ayo, orangnya udah nunggu!”

“Iya, iya.” Saat kakiku melangkah keluar mobil, berapa terkejutnya aku ada dua anak kecil menyuguhkanku karangan bunga mawar yang sangat harum dan indah.

Dengan mengenakan baju gaun putih seperti seorang puteri di negri dongeng sembari tersenyum manis “Kak ayo kami antar!”ucap dua gadis kecil itu sembari meraih tanganku. Aku tidak mengerti lalu menoleh ke arah  mbak Yuli yang diam terpaku di belakangku.

Setelah berjalan beberapa langkah, aku disambut lagi dengan beberapa anak laki-laki yang membawa balon dan palkat bertulisan Im sorry, maafkan aku, aku menyesal dan satu lagi will you merry me, aku masih bingung dengan keadaan ini. Bingung ya, pasti bingung? Mengapa? Ada apa? Itu terbesit di dalam otakku. Lalu nampaklah lelaki dewasa menghadap belakang, dari perawakannya sepertinya tidak asing bagiku.

“January, aku tau kamu pasti sangat membenciku. Tapi aku mohon, maafkan aku! Ayo kita mulai lagi dengan cerita yang baru.” Dia membalikkan badan lalu berlutut dan menyerahkan seutas cincin berlian.

“will you merry me?”

Aku terperangah melihat sosok yang paling ku benci itu

“Dion, kamu. Enggak aku nggak mau.” Ku lempar karangan bunga mawar tepat di hadapan Dion yang tengah berlutut, lalu gegas aku membalikkan badan.

Dion menangkap lengan kiriku dengan genggaman yang keras “Janu, dengerin aku! Ini demi kebaikan kita.”

“Kebaikan, kebaikan apa? Baru sekarang kamu bilang begini, Setelah semua yang terjadi, kemarin kamu kemana?”

“Jangan sentuh aku, aku jijik sama kamu!” Aku berusaha melepaskan genggaman Dion.

Dion tertawa sinis “Jijik kamu bilang? Ha, bukankah kau denganku sudah pernah bersama.”

“Diam!” Aku memutus omongan Dion.

“Diam? Kamu nggak bisa melawan takdir yang telah terjadi Janu, ini demi anak kita.”

Mbak Yuli tidak sengaja mendengar ucapan Dion “anak? Maksudnya anak apa? Siapa?” Batin mbak Yuli.

“Oh iya, dimana kamu menyembunyikan anak kita? Dia pasti ingin sekali bertemu ayahnya ini.” Dion semakin menjadi-jadi.

Aku semakin perustasi mendengar omong kosong Dion yang tidak ada habisnya.
“Diam!”

“Atau jangan-jangan?” Dion menggigit bibir bawahnya.

“Stop Dion! Aku muak denganmu, jangan harap aku bisa memaafkanmu, jangan berani-berani kamu menampakkan wajahmu itu di hadapanku lagi!”

Aku beranjak meninggalkan Dion menuju mobil, diikuti mbak Yuli. Menangis, sakit, prustasi, stres lagi dan lagi. Aku ingin hidup tenang seperti orang kebanyakan, apakah tidak boleh? Dosa yang telah kulakukan diwaktu silam kini menghancurkan keceriaan masa depanku. Menyesal itu pasti, andai waktu dapat diputar kembali.

Kunyalakan mesin mobilku dan melaju dengan kencang.

“Mbak hati-hati jangan ngebut gini! Yuli jadi takut Mbak." Mbak Yuli nampak sangat panik dan ketakutan, matanya tidak berkedip memerhatikan jalan. Namun aku tidak menghiraukannya, hatiku kini berkecamuk hebat teringat semua kejadian di masa kelam. Aku langsung menuju ke tempat dimana biasa aku memotret, rumah yang kubangun dengan jerih payahku sendiri itulah tempatku menenangkan hati yang gundah gulana ditemani foto-foto kenangan dan botol minuman.

Aku telah menjadi manusia yang tidak berguna sebagai hamba, sudah lama aku tidak mengenal Tuhanku. Hidupku hampa, hancur tak berdaya. Hidup tanpa arah, kotor dan menjijikan. Itulah aku, ruangan gelap sudah menjadi teman setiaku. Lagu melow, dan kesunyian menjadi favoritku, ditambah sebotol minuman yang dapat menenangkan rasa sakit hatiku.

Mbak Yuli hanya terdiam di depan pintu kamar rahasiaku, mungkin saat ini kepalanya dipenuhi dengan ribuan tanda tanya.  Sesekali dia memberanikan diri mengetok pintu kamarku yang terkunci rapat ini.

"Mbak, ada apa Mbak? Ayo ngomong aja sama Yuli. In syaa Allah Yuli bisa bantu." Berulang ia ucapkan kata yang sama sampai pada akhirnya adzan Ashar menggema barulah seruan mbak Yuli berhenti.

"Sudah adzan, Mbak. Yuli shalat dulu ya! Kalau ada perlu apa-apa tinggal hubungi Yuli."

Mbak Yuli, wanita shalehah dan rendah hati. Perangainya cantik seperti halnya wajahnya, dia tidak pernah meninggalkan shalatnya. Berbeda denganku. Aku merasa aku tidak pantas untuk shalat, begitu kotornya diriku ini rasanya tidak pantas bagiku menemui_Nya dalam keadaan seburuk ini.

Beberapa saat aku lupa dengan kesedihanku, karna efek dari minuman penenang pikiran yang selalu ku konsumsi saat hati dalam keadaan yang tidak sehat.

Setelah aku mulai tenang dengan keadaan, aku pun keluar dari kamar rahasiaku. Betapa terkejutnya aku melihat mbak Yuli yang masih mengenakan mukena lengkap tersandar ke dinding di samping pintu kamar.

"Mbak, Mbak Yuli," panggilku

"Heh." Mbak Yuli menyadarkan dirinya sambil mengusap kedua matanya. "Mbak Janu akhirnya keluar juga, aku khawatir loh Mbak."

"He maaf ya Mbak Yul, yasudah kita makan dulu yuk! Aku udah pesan makanan lewat gofood, kayaknya bentar lagi nyampe." Aku kembali tenang seperti biasanya. Mbak Yuli hanya mengangguk paham.

{Suara bel}

"Nah kan itu pasti makanan yang aku pesan tadi," ucapku.

Mbak Yuli bergegas keluar untuk mengambil pesanan gofood kami lalu kami pun makan dengan lahap bersama.

"Mbak."

"Iya," jawabku sambil menggigit daging ayam berbalut tepung krispi.

"Eumm, nggak jadi deh," ucapnya ragu.
Sebenarnya aku tau apa yang ingin mbak Yuli katakan, pasti tentang aku dengan Dion. Tapi aku berpura-pura tidak paham.
"Yasudah kalau nggak jadi."

January for günaydın cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang