Ahmed

2 0 0
                                    

(Bunyi bel)
Aku bergegas memasang jilbabku lalu membuka pintu.

“Günaydın,” ucap lelaki berpakaian rapi dengan sedikit brewok tipis di wajahnya yang sedang berdiri di hadapanku. Aku tidak paham apa yang dia katakan, dan aku hanya mengangguk dengan senyuman bingung.

“Oh iya selamat pagi Janu, perkenalkan nama saya Ahmed saya di sini bertugas menjadi tour guide anda, jadi kemana kita hari ini?” ucapnya dengan sangat ramah.

‘Oh pemandu wisata' gumamku dalam hati.

“Hai Ahmed, oh iya kebetulan hari ini aku mau ke mesjid sultan Ahmed,” jawabku.

“Oke pas sekali sejam lagi jam sembilan,” ucapnya sambil menatap jam tangannya.

“Yaudah aku siap-siap dulu,” pintaku.
Ahmed mengangguk.

                                     ***
“Yuk berangkat!”

Untuk mengulur waktu menunggu Masjid Sultan Ahmed dibuka, kami berjalan-jalan dulu di kota.

“Jam segini masih sepi, restaurant belum pada buka. Nih makan dulu,” ujar Ahmed sambil menyodorkan sebuah roti isi daging.

Perutku yang terbiasa sarapan pagi ini memang mulai keroncongan, kuambil bungkusan roti isi daging itu.

“Makasih.”

“Oh iya ini kan udah jam segini kok masih sepi, beda banget sama di Indo, jam segini jalanan raya pasti udah padet-padetnya,” sambungku sambil melahap roti isi daging.

“Iya di sini memang gini, jam segini aja kayak masih subuh, kan. Jam sembilan baru aktifitas masyarakat dimulai,” jawabnya yang juga sedang melahap roti isi daging.

“Ahmed,” panggilku.

“evet, iya,” jawabnya.

Aku berpikir sejenak. “Emm, aku kan nggak ada pesan tour guide, tapi kok kamu?” tanyaku.

“Gimana ceritanya nggak pesen Janu, orang nama kamu ada di listku kok,”  jawabnya santai dengan logat Indonesia bercampur dengan lihat Turki.

“Oh mungkin dipesanin dari sebelum aku berangkat ya, dipesanin sama Mbak Yuli sama yang lain. Mereka kan tau aku nggak bisa bahasa Turki.”

“Mungkin,” jawab Ahmed singkat.

“Mari duduk dulu,” sambung Ahmed sambil menuju kursi kayu yang berada di pinggir jalan.

Aku mengangguk lalu mengikuti langkah Ahmed dan duduk di sampingnya dengan berjarak.

Saat duduk kami menghabiskan roti isi daging dan melahapnya habis.

“Uhuk.” Aku tersedak. Ahmed langsung mengeluarkan tumbler dari dalam tasnya.

“Ini minumlah!” ucapnya sambil menyerahkan tumbler miliknya itu.
Aku meraihnya dan meminumnya.

“Alhamdulillah,” ucapku lega setelah meminum beberapa teguk air hangat yang diberikan Ahmed. “Ini, makasih,”ucapku sembari menyerahkan kembali tumbler miliknya.

“Eumm kamu pernah naik kapal Janu?" tanya Ahmed. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.

“Mau coba?” tanyanya lagi.

Dengan semangat kujawab. “Mau.”

“Oke baiklah,” ucap Ahmed.

Matahari sudah mulai terasa menyinari bumi, suhu yang tadinya sangat dingin kini mulai terasa hangat meski tetaplah dingin bagiku yang terbiasa dengan iklim tropis di Indonesia. Pula kota sudah mulai dipenuhi oleh manusia.

January for günaydın cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang