Rumah Nenek

3 2 0
                                    

Setelah menunggu beberapa jam di ruang tunggu, adzan subuh bergema.
"Sudah adzan ternyata. Yuk kita sholat subuh dulu dan berdo'a supaya Bapaknya Yuli cepet siuman dari komanya!" ujar Arga.

Mbak Yuli mengangguk pelan, mengusap air mata yang tidak ada teduhnya. Ummi membantu ibunya mbak Yuli untuk berdiri. "Yuk Bu kita shalat dulu!"

Arga menoleh ke arahku yang diam mematung "Janu, ayo!"ajaknya.

"Kalian saja, aku lagi halangan. Jadi biar aku yang jagain Bapaknya Mbak Yuli di sini," jawabku berbohong.

'Shalat, sudah lama sekali dahi ini tidak menyentuh sajadah. Ingin, sangat ingin merasa tenang, mengadu kepada rabb semua keluh kesahku. Tapi rasanya tidak pantas bagiku yang sangat kotor ini,' batinku menangis.

"Yasudah kamu disini aja, kami shalat dulu bentar," ucap Arga lalu meninggalkan ruang tunggu.

15 menit berlalu, dokter akhirnya keluar dari dalam ruangan pasien.

"Keluarga Pak Slamet?" tanya dokter sambil menatap ke arahku.

"Iya Dok, gimana keadaan Pak Slamet saat ini apakah ada kemajuan?" tanyaku.

"Alhamdulillah koma telah berhasil beliau lalui tapi masih belum pulih seutuhnya. Pasien masih perlu ketenangan,  jadi kalau ingin menjenguk ke dalam dimohonkan hanya satu dua orang saja, jangan lupa do'akan terus beliau karna keajaiban Tuhan lah yang bisa memperlancar dan mempermudah semua masalah," jelas pak dokter.

Aku melahap kata terakhir dari pak dokter itu. "keajaiban Tuhanlah yang bisa memperlancar dan mempermudah semua masalah."

"Baiklah kalau begitu saya pamit dulu, kalau ada apa-apa tinggal panggil suster ya!" ucap dokter.
Aku mengangguk mengiyakan.

Aku masuk dengan pelan kedalam ruangan pasien, agar tidak mengeluarkan suara yang dapat mengganggu pak Slamet. Terlihat beliau sedang dalam keadaan belum sadarkan diri tapi mataku tertuju pada butiran butiran tasbih yang berada ditangan beliau. Jiwanya mungkin tidak sadar, tapi hatinya tidak pernah lupa dengan sang pencipta. Rasanya hati ini iri melihat pemandangan ini, aku membuka tas kecil yang terselempang di bahuku. Kubuka dan kuambil seuntai tasbih pemberian almarhum ayah, dulu ayah berpesan agar aku slalu menggunakan tasbih itu untuk selalu mengucapkan lafadz tasbih dan dzikir, tapi nyatanya aku hanya selalu membawanya kemanapun aku pergi, hanya tersimpan didalam tasku.

Terdengar dari luar ruangan suara Arga yang lantang, aku pun memutuskan untuk keluar dan memberitahu mereka kabar dari dokter tadi.

"Mbak Janu, gimana? Bapak sudah siuman?" tanya mbak Yuli.

Aku menggeleng pelan. "Alhamdulillah Pak Slamet sudah melalui masa kritisnya tapi belum siuman. Kata dokter, Pak Slamet masih perlu ketenangan dan jangan diganggu dulu. Kalau Mbak sama Ibu mau masuk silahkan, batasnya hanya satu dua orang saja," jelasku.

Mbak Yuli dengan ibunya masuk ke ruangan, tinggalah ummi, aku dan juga Arga di luar.
Ummi duduk termenung di kursi tunggu, aku menatap ke arah Arga yang juga menatap kearahku.

Aku pun ikut duduk disamping ummi.  "Ummi kenapa, kecapean? Pusing? Yuk kita istirahat yuk," ucapku sambil memijat bahu ummi.

"Ummi ingat ayah kamu Janu," jawab ummi yang langsung memelukku.

Tentulah ummi langsung teringat kepada ayah, karna ayah dulu juga begini keadaannya. Ayah meninggal karna penyakit jantungnya kronis, dan ayah saat itu koma dan menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit ini. Dulunya rumah sakit ini tidak sebesar ini dan fasilitasnyapun tidak selengkap sekarang.

Kupeluk ummi erat "Sudah Mi, Ayah sudah tenang di alam sana!"

Arga mendekati kami "Ummi, bener kata Janu. Pak Adi itu orangnya baik banget semasa hidupnya, pasti di sana Pak Adi sudah bahagia di surga, Mi. Jadi Ummi jangan sedih, nanti siapa yang nyemangatin Janu kalau Ummi sedih kayak gini?" ucap Arga sambil menatap ke sorot mataku yang mengeluarkan butiran bening.

Mendengar ucapan Arga, ummi langsung mengusap air matanya dan berusaha untuk tersenyum.

Arga, kemampuannya sejak kecil kalo masalah merubah suasana. Dia sangat mengenal keluargaku karna rumahnya dengan rumah kakek nenekku sangat berdekatan. Arga adalah anak pak ustadz Harun, dia terdidik dari lingkungan yang agamis karna semua keluarganya adalah sosok yang agamis. Kata-katanya yang bijak dan dewasa itu memang mempuni pada dirinya sejak dia kecil.

"Ummi sebaiknya istirahat saja dulu, nanti sakit!" ucap Arga.

"Iya Mi, kita kerumah nenek dulu biar Ummi bisa istirahat," timpalku.

"Tapi Yuli nanti nyariin."

"Tenang, nanti Janu chat Mbak Yuli di whatsApp," jawabku. Ummi pun mengangguk dan menuruti ucapan ku dengan Arga.
                                    ***
Kami telah sampai di depan pintu kayu yang catnya sudah mulai terkelupas.

"Assalamu'alaikum," Arga mengetuk pintu.

Keluarlah lelaki yang sudah tua, rambutnya penuh dengan uban "wa'alaikumussalam," jawabnya.
Aku langsung menghampirinya lalu memeluknya erat "kakek," ucapku.

Matanya sudah mulai buram "He." Dia kembali memelukku meski dia sendiri tak tau siapa yang sedang dia peluk ini.
"Kakek, ini Janu cucunya Kakek," ucap Arga.

Nenek yang sedang duduk di dalam rumah mendengar ucapan Arga. "Cucuku?" Nenek bersigera keluar untuk menemui cucunya ini.

Suasana menjadi haru, aku merasa sangat bersalah karna kesibukanku aku tidak pernah sempat mengunjungi kakek dan nenekku di kampung, kira-kira sudah hampir 8 tahun aku tidak menjenguknya.
Ummi memeluk erat nenekku. "Bu, maafkan Asih baru sekarang bisa kesini! Ibu gimana kabarnya, sehat?" ucap ummi.

Kami pun memutuskan untuk berbincang-bincang di dalam rumah. Arga yang sudah terbiasa di rumah nenek memperlakukan kami sangat baik layaknya seorang ratu, dia ke dapur membuatkan kami secangkir teh dan cemilan.

"Ayo minum dulu!" ucapnya sambil membawa nampan yang berisi gelas plus cemilan dan ceret yang berisi teh hangat.

"Arga, harusnya aku aja yang bikin!" ucapku.

"Nggak papa lah, biar aku aja. Kamu duduk santai dan istirahat saja dulu. Ayok cobain teh buatanku ini nggak ada lawannya di dunia ini." Arga menggodaku sambil menyodorkan secangkir teh hangat ke bibirku.

"Haha." Tawa menghiasi rumah.

"Cucu Nenek sudah dewasa, cantik sekali seperti ibunya dulu waktu muda. Kan Asih?" ujar nenek.

"Ibu bisa saja, Janu ini mirip sekali dengan almarhum ayahnya, senyumannya dan tai lalat di dekat bibir serta lesung pipit itu tak lain dari ayahnya." Ummi menatapku. Semua mata tertuju padaku begitu juga dengan Arga, sorot matanya yang begitu dalam mengingatkanku pada masa kecil kami yang sangat menyenangkan.

"Santai aja liatin nya, Ga."

Arga berkedip cepat dan mengusap wajahnya dengan telapak tangan. "Abisnya cantik banget si," gombal Arga.
Aku tidak menanggapi ucapannya.

Angin segar masuk ruangan, membuat ujung rambutku sedikit berkibar, angin itu masuk tak lain dari jendela samping rumah, langsung aku menatap ke jendela itu karna dari jendela itu langsung berpapasan dengan rumah cinta.
"Rumah cinta," ucapku.

Ummi bersama kakek dan nenek masih berbincang-bincang, sedang aku dan Arga melihat rumah cinta dari arah jendela.

"Kita kesana yuk!" ajak Arga.

Aku langsung mengangguk mengiyakan, kami pun berlari seperti masa kanak-kanak dulu bergegas untuk keluar rumah menuju rumah cinta yang berada di samping belakang rumah.

January for günaydın cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang