Akhirnya, tolakan telah aku aungkan. Aku telah nyaman dengan pekerjaanku sekarang.
{Suara jepretan kamera} ruangan yang tertutup rapat penuh dengan hiasan untuk baghround serta peralatan fotografi.
“Ya dagunya diangkat lagi sedikit! iya satu dua tiga.” Cahaya kamera adalah sesuatu yang sangat aku benci karna setip hari aku harus memakai sepasang softlens yang kurasa sangat mengganggu mataku, bagi sebahagian orang mungkin suka mengenakannya tapi berbeda denganku, apalagi aku harus melepas dan memakainya kembali sebanyak beberapa kali sehari. Tapi tidak bisa kupungkiri dia memang melindungi mataku dari silaunya cahaya lampu kamera.
Eh eh jangan salah, aku bukan modelnya tapi juru fotonya, iya fotografernya.
Memotret adalah hobiku sejak kecil, saat ayahku masih berada bersamaku ayah sering mengajakku memotret alam dan sekitarku, sungai, gunung dan hal yang indah lainnya. Setiap seminggu sekali kami selalu kerumah cinta, iya rumah cinta di kampung tempat nenek dan kakekku tinggal, disana ada rumah kayu yang dibuat kakek untuk ayahku sewaktu ayahku kecil. Di sana banyak sekali hasil potretan yang dibingkai kayu dan dipanjang rapi.
Ingin rasanya ayah masih ada, pasti akan ku katakan. “Ayah lihatlah anak gadismu ini sekarang, dia telah tumbuh dewasa dan menapaki jejakmu." Tanpa sengaja air mataku terjatuh.
Namun berat rasanya disaat aku kembali ke sana. Apalagi kalau bukan melihat gundukan tanah yang telah rata.
“Mbak kenapa nangis?” tanya asistenku yang terlihat sangat panik.
“Enggak kok gak papa, ini tadi cuman kelilipan aja." Aku mengipas-ngipas mataku dengan tangan berusaha menutupi kesedihanku, rasanya hati ini membeku dan seperti ada yang mengganjal keras setiap mengingat masa-masa itu.
“Mbak Janu telepon dari ummi.”
Bergegas kuletakkan kameraku, dan langsung meraih gawaiku.
Ummi lah satu-satunya harta berhargaku yang masih tersisa, ummi adalah seorang penjahit ya penjahit, jadi 65% dari fashion yang dikenakan modelku adalah hasil jahitan tangan ummiku. Dari baju santai, gamis sampai baju pengantin ibuku kerjakan. Sebenarnya aku ingin ibuku istirahat saja di masa tuanya, tapi beliau selalu berkata, "Biarkan ummi mencari kesibukan agar tidak begitu mengenang Ayahmu.” Rasanya jantung ini tertusuk benda tajam begitu saja, aku tau betul perasaan ummmi meski ayahku telah meninggalkan kami puluhan tahun lalu.
“Assalamu'alaikum Ummii.”
“Wa'alaikumussalam," jawaban dari balik telepon.
“Ada apa Mi?”
Helaan nafas. "Kamu sibuk Nak? Kalau ndak sibuk bisa temui Ummi di rumah?”
“Tidak Mi, Janu ndak sibuk. Iya Janu berangkat Mi,” jawabku sambil memberi instruksi gerakan tangan kepada asistenku untuk menghentikan kesibukan hari ini.
Asistenku, dia adalah sosok yang sangat membantu meringankan kesibukanku, bagiku dia adalah sosok teman akrab bukan sebagai atasan dengan bawahan.
“Yasudah Ummi tunggu! Assalamu'alaikum." Ummi menutup telepon.
“Wa'alaikumussalam.” Aku langsung bergegas mengambil tas dan kunci mobilku untuk menemui ummi.
KAMU SEDANG MEMBACA
January for günaydın cinta
Teen FictionApa yang kau harapkan dari bulan januari? Puncak hujan yang memberikan ketenangan dari bisingnya gendang telinga yang telah rapuh untuk mendapati segala tanya dan kabar cela, atau sebuah sunyi yang tak kunjung reda tanpa suara tawa?