6

508 47 3
                                    

JEVAN keluar dari mobil saat tiba di sebuah taman yang masih ramai dikunjungi pengunjung meski jam sudah menunjukkan waktu setengah sebelas malam. Dia menuju ke arah Nathan yang terlihat lagi bersandar di luar mobil. "Dimana dia?"

"Ada di bangku depan."

"Aduh, bro! Seharusnya lo coba buat membujuknya pulang aja dari nangis di sini. Mana lo gak temanin lagi."

"Gini ni jadinya. Kalo gue udah berhasil membujuknya, gue gak mungkin telepon lo buat ngelakuin ini semua." Nathan menghela napas sambil menatap Jevan kesal. Kan benar kan kalau Nathan berjaya bujuk Winna, dia mana mungkin menghubungi Jevan dan meminta temannya ini buat datang padahal ide awal berhenti di taman ini juga adalah ide dia sendiri. Tapi Nathan tidak tahu kalau Winna malah berlama-lama di sini.

🍂🍂🍂

WINNA tidak mempedulikan bagaimana kondisinya di mata para pengunjung yang sebagian besar terdiri dari pasangan kekasih yang lagi menatapnya aneh. Seperti tidak pernah melihat perempuan menangis saja. Dia sempat menggerutu sendiri. Dengan gaun yang masih sama dipakai sewaktu pernikahan Jelita dan bertelanjang kaki, dia duduk sendirian di bangku. Tadinya ketika di dalam mobil, dia memaksa Nathan agar meninggalkannya di pinggir jalan tapi pria itu malah tidak peduli. Dia lalu memilih untuk hanya diam setelah itu sebelum merasa aneh ketika Nathan tiba-tiba berhenti di taman ini.

"Mendingan kamu tenangkan aja diri kamu dulu sebelum balik ke hotel."

Perlahan tangan itu terangkat menyentuh pipi yang rasa sakitnya sudah lama hilang. Winna memejamkan matanya saat kejadian tadi kembali menerjah di ruang pikiran sebelum dia merasakan bahunya disentuh dari belakang membuatkan matanya terbuka lagi. Winna berbalik melihat gerangan yang melakukannya. Ini kalau Nathan, bakal Winna maki-maki tetapi ternyata ada Jevan yang kini tersenyum teduh ke arahnya. "Kak Jevan." Lagi-lagi air mata itu mengalir sendu.

🍂🍂🍂

"KOK kamu jadi hubungi Jevan?" tanya Kirana ke Nathan ketika dia mempunyai kesempatan untuk menghubungi tunangannya itu. Papa baru saja terlena setelah dikasi obat. Jadi, Kirana keluar setelah memastikan papa dalam keadaan baik-baik sebelum kembali menutup pintu dengan perlahan. Sengaja dia tidak menghubungi Nathan ketika berada di kamar karena tidak ingin mengganggu lena papa.

"Aku gak dekat dengannya kayak Jevan."

"Lalu gimana dengan kondisi Winna sekarang?" Kirana sebenarnya khawatir. Kalau diikut kata hatinya, dia benar-benar ingin pergi ke tempat Winna berada sekarang tetapi pada saat yang sama dia tidak mungkin meninggalkan papa yang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Memikirkan semua itu membuatkan Kirana menarik napas panjang kerana merasa pusing. Winna dan papa memang sama-sama keras kepala. Yang jadi terjepit antara situasi mereka berdua malah dia sama mama.

🍂🍂🍂

"PASTI sakit banget, iya?"

Winna menarik tangan Jevan yang menyentuh pipinya.  "Aku gak papa kalo soal ini, kak. Udah terbiasa juga."

Lama Jevan terdiam sebelum dia menarik napas dalam-dalam. "Winna, kakak sebenarnya gak mau dianggap kalo kakak mencampuri urusan kamu tapi mau sampai kapan kamu terus-terusan kayak gini?" 

Winna terdiam dan membiarkan soalan Jevan berlalu tanpa jawaban. Lagi-lagi dia sendiri tidak tahu mau sampai kapan dia dan papa akan selalu bertengkar. Jauh di sudut hati, Winna sendiri tidak menginginkan semua ini. Jauh di sudut hati, Winna merindukan kasih sayang keluarganya. Jauh di sudut hati, Winna merindukan keluarganya yang dulu.

🍂🍂🍂

"DIA udah pernah mengalami yang sama sebelumnya?"

Jevan mengangguk untuk menjawab pertanyaan Nathan. Mereka berdua sekarang berada di sebuah gerai jalanan. Begitu Jevan mengantar Winna ke hotel, dia mengajak Nathan untuk mampir ke gerai jalanan yang masih ramai itu walaupun malam kian pekat.

Love, That One Word✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang