"JEVANO!"
"Nath, tenanglah. Coba periksa denyut nadinya." Jevan membuka pintu ruangan kerjanya sambil memegang ponsel. Kakinya dengan cepat dibawa ke ruang UGD. "Gimana, ada?"
"Ada. Denyut nadinya ada tapi lemah banget, Jev. Napasnya juga kayak gak ada, hanya denyut nadinya aja masih ada." Suara Nathan terdengar sangat cemas.
"Apa lo udah melakukan CPR?" Tombol lift ditekan. Dia melihat jam di tangannya. Winna, tolong bertahan.
"Iya, aku udah melakukannya tapi dia gak memberi respons apapun!"
"Gue udah mau ke UGD. Gue akan mengirim ambulans ke sana. Di mana lokasi lo sama Winna sekarang?"
"Gak usah! Kalo lo ngirim ambulans sekarang, butuh waktu lima belas menit buat datang dan lima belas menit buat kembali ke rumah sakit." Nathan menatap Winna yang sudah pucat pasi.
"Apa maksud lo?"
"Gue akan membawanya ke sana." Nathan bertekad saat rasa bersalah mulai bersarang di hatinya.
Jevan membulatkan bola matanya tidak percaya. Nathan mau membawa Winna ke rumah sakit sendiri? "Nath!"
"Please Jevan! Gue akan berhati-hati."
"Kalau gitu gue tunggu di UGD." Jevan sepertinya memikirkan sesuatu sebelum pintu lift terbuka. Dia dengan cepat menggelengkan kepalanya sebelum melangkah untuk memaklumkan kes darurat yang akan tiba.
🍂🍂🍂
JEVAN sudah siap dengan katil pasien di depan UGD. Di belakangnya ada Gladis dan Wanda, perawat akan yang membantunya juga sama bersedia. Lagi-lagi Jevan melihat arloji di tangannya dengan gugup. Dia menelepon Kirana tapi masih tidak diangkat. Jevan baru saja mengirim pesan yang memberi tahu kalau Winna akan dikirim ke sini.
Mobil mewah hitam Nathan memasuki halaman rumah sakit. Begitu mobil Nathan tiba di depan mereka, Jevan terus membuka pintu belakang. Gladis dan Wanda sudah siap mendorong kasur pasien.
Nathan keluar dari tempat pengemudi. Dia tampak cemas tetapi tetap membantu membuka luas pintu mobil belakang saat Jevan tampak kesulitan membawa tubuh mungil Winna keluar.
Jevan terus menempatkan Winna di kasur pasien dengan segera. Setelah memastikan kalau semuanya sudah baik-baik saja, katil Winna didorong mereka masuk ke dalam.
Nathan mendekati seorang satpam yang sedang bertugas. "Tolong parkirkan mobil saya."
Sebaik sahaja satpam itu mengangguk, Nathan terus meluru masuk ke UGD. Kasur Winna didorong masuk ke zona kuning. Nathan turut sama masuk ke ruangan itu. Wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran yang luar biasa. Dia mulai menyesali tindakannya membelikan Winna es krim padahal niatnya hanya ingin membuatkan gadis itu merasa lebih baik setelah dipaksa mencoba gaun pengantin kakak sendiri.
Jevan kini serius memeriksa kadar denyutan jantung Winna. "Suster, kasi pasien infusnya. Full vitamin." Jevan memberi intruksi pada Gladis.
"Gimana Jevan? Dia gak bakal kenapa-kenapa kan?" Nathan jadi ragu.
"Jangan khawatir. Kondisi dia stabil. Winna cuma gak sedarkan diri dan nadinya sangat lemah kerana komplikasi yang dialami." Jevan melurut stethoscope ke leher. "Tubuhnya gak mampu menerima dan bertindak balas dengan kacang. Untungnya lo cepat bawa dia ke sini."
Nathan menghela napas lega. "Syukur kalo gitu. Gue benar-benar takut terjadi apa-apa ke Winna."
"Udah gue bilang jangan khawatir. Winna stabil kok dan cuma pingsan. Lo mendingan tunggu di luar aja." Jevan memandang Nathan. "Gue udah coba hubungi Kiran tapi dia gak jawab. Kayaknya dia masih belum selesai nangani urusan pasien VIP kita yang berulah. Tapi gue udah ngirim pesan ke dia. Lo kalo bisa tolong ngecheck apa dia udah selesai belum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, That One Word✔️
FanfictionWinnareyn Aurel, dia adalah seorang dokter yang merelakan segala kemewahan dan dibenci oleh papa sendiri demi melanjutkan perjuangan sang kakak untuk terus mengabdi pada masyarakat. Hidupnya terlalu jauh berbeda jika dibandingkan sama saudara kandun...