38

574 51 24
                                    

TEPUK tangan gemuruh menggema di seluruh aula segera setelah Saputra selesai memberikan pidatonya.

Mata Winna memberi fokus pada panggung meskipun pikirannya menggembara entah kemana. Nathan di sebelahnya seolah dianggap tidak wujud. Bahkan ada Kirana yang duduk bertentangan dengan dirinya. Dia, Nathan, Kirana dan keempat orang tua mereka duduk di meja yang sama termasuklah Milea dan Sandra.

Jelita duduk dua meja di belakang dari meja utama itu. Tamin dan Idara ada di meja sebelah. Pembawa acara mengumumkan kalau upacara peresmian akan segera diadakan dan mengundang keluarga Saputra dan keluarga Bagas kesemuanya naik ke atas panggung.

Namun, getaran ponsel di tas Winna yang berkali-kali mengganggu pikirannya. Sejak tadi ponsel itu bergetar seolah pemanggilnya ingin membuat pemilik ponsel untuk segera menjawab. Winna mengeluarkan ponsel dari tas dan melihat nama si pemanggil. Berkerut alisnya saat melihat nama Jevan muncul. Ada apa? Tatapannya beralih ke arah Jelita. Ternyata kursi sebelah Jelita masih kosong. Winna merasa tidak senang. Kenapa Jevan belum datang? Dia berdiri dan berjalan keluar tanpa diketahui oleh semua orang di mejanya karena semua orang sibuk mendengar ocehan pembawa acara.

Idara tersenyum sinis pada Tamin sebelum bangkit dan meninggalkan aula mengikuti langkah Winna.

"Kak Jevan, ada apa?"

"Winna!"

Winna jadi bingung. Suara Jevan terdengar cemas. Kenapa dengan Jevan?

"Winna di mana, dek?"

"Di aula, kak. Acaranya udah mula. Kakak kenapa masih gak dateng?" Winna bertanya dengan ragu. Kenapa Jevan belum datang? Bahkan dia bisa terdengar helaan napas berat di ujung talian.

"Winna, apa Winna udah tau semuanya?"

Kerutan di dahi Winna semakin kuat.

"Winna udah tau kan, jawab kakak, Winna."

"Kak Jevan kenapa sih sebenarnya? Ada apa? Apa terjadi sesuatu? Aku bingung tau apa, kak?"

"Winnareyn Aurel! Jangan bikin alasan lagi. Kenapa kamu menyembunyikan semua ini? Kenapa kamu gak bilang ke kakak kalo kamu menderita kanker payudara?"

Lama suasana di antara kedua sepi meskipun gema riuh dari aula masih kedengaran sebelum Winna memberanikan diri untuk bersuara. "Kak Jevan udah tau, iya?" lembut bibir itu menuturkan pertanyaan dengan mengukir senyum hambar. Dia tidak terkejut kalau Jevan tahu secepat ini. Jevan juga seorang dokter sama seperti dirinya. "Kakak pasti udah ngelihat hasil tes darah waktu aku pingsan, iya kan? Lalu rekod yang gak sempat aku hapuskan di pc juga pasti udah kakak lihat. Iya enggak? Ih, curang banget dokter satu ini."

Jevan terdiam sejenak. Suara yang masih berusaha untuk bercanda itu meruntum hatinya. "Kapan? Sejak kapan kamu udah tau semua ini?"

Lagi-lagi Winna menarik napas berat saat menyadari kalau Jevan sekarang tak ingin diajak bercanda. "Kemarin sore kak setelah aku melakukan tes ulang.

"Kenapa menyembunyikannya dari kita semua?"

Winna menunduk meskipun Jevan tidak ada di depannya. Sebak yang berkunjung berusaha untuk diusir. "Kak Jevan, kakak tau tentang kehamilan aku. Sekarang kakak juga tau tentang kanker payudara yang aku derita. Apa kali ini Kak Jevan masih mau bantuin aku?" Hanya Jevan yang dia percaya untuk saat ini.

Jevan meningkatkan kecepatan mobilnya. Kakinya menginjak pedal untuk segera tiba di tempat Winna. Dia tahu kalau Winna sudah membuat keputusan sendiri. Dia tahu kalau Winna benar-benar sudah mengatakan keputusannya, maka tidak ada satu orang pun yang mampu membantah dan Jevan tidak ingin kalau semua itu terjadi. "Jangan minta kakak menyembunyikan semua ini, dek."

Love, That One Word✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang