27

428 42 14
                                    

"GIMANA, Winna?"

Winna tidak menjawab pertanyaan Jelita karena terlalu fokus. "Suction."

Jelita melakukan apa yang Winna arahkan.

"Suction."

Sekali lagi, Winna meletakkan mesin suction ke kawasan terlalu banyak darah.

Di luar ruang operasi, Midad, Lanang, Pandu dan tiga orang magang baru yang tidak terlibat dengan operasi dadakan itu tampak cemas menunggu sambil mata senantiasa melihat ke arah stop watch. Dalam hati mereka, masing-masing ada doa yang tidak henti-hentinya. Operasi sudah berlangsung lima belas menit. Masih berbaki lima belas minit sebelum kesan anestetik menghilang sedikit demi sedikit.

Winna menoleh ke arah Jelita sebelum mengeluarkan potongan apendisitis sepanjang 2 cm dan terus memasukkannya ke dalam wadah logam kosong yang disediakan.

Jelita menghela napas lega.

"Pak Pandu." Wanda keluar dari ruang operasi sambil tersenyum. "Operasinya berhasil."

Pandu tersenyum dengan air mata sudah mengalir jatuh ke pipi. "Anak saya, Aprilia selamat. Aprilia selamat." Saking senangnya dengan kabar sang anak, Pandu langsung memeluk Lanang yang ada di sebelahnya.

🍂🍂🍂

WINNA mengangguk pada petugas yang membawa ranjang yang menempatkan Aprilia untuk dimasukkan ke dalam ambulans.

Begitu matahari terbenam, ambulans dari Rumah Sakit Cahaya tiba. Aprilia akan dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut.

"Winnareyn Aurel."

Winna berbalik. "Iya, Kak Jelita." Dia sudah mengagak kalau Jelita pasti bakal mengomel atas tindakan yang dia lakukan. Wajah pasrahnya terpampang di depan Jelita. "Kak Jelita, apa kakak bakal terus marahin aku di sini? Gak bisa tunggu di rumah aja?"

"Maaf."

"Eh? Maaf kenapa?"

"Kakak lupa siapa Winna sebenarnya."

"Kak Jelita." Wajahnya berubah. Dia mendekati Jelita. "Maaf karena aku bertindak mengikut kepala aku sendiri. Bukannya aku gak mau meminta pendapat dokter senior tapi aku melakukannya demi kebaikan pasien."

"Terima kasih, Winna. Winna udah melakukan yang terbaik. Kakak bangga."

"Aku yang harus ngucapin terima kasih karena Kak Jelita udah mau percayakan aku."

"Orang-orang pada benar. Winna benar-benar layak mendapatkan gelaran monster ketika masih magang. Benaran monster soalnya. Mana kalo buat keputusan udah gak bisa diubah lagi."

"Kenapa sih sering disebutin gelaran itu. Kan udah lama, Kak Jelita." Winna bertanya dengan nada yang kedengaran kesal. Dia benar-benar tidak mengharapkan kalau semua orang tahu kalau pemegang gelaran Monster Intern adalah dirinya.

"Karena sejak dari magang aja kamu udah terkenal dengan gelaran Monster Intern. Nah sekarang jadi dokter bergelar Surgeon Star. Kamu hebat dong dek, harus berbanggalah. Winna bisa menangani situasi apa pun." Jelita berkata dengan tulus.

"Gak kok Kak Jelita." Winna tidak terlalu nyaman mendengar pujian yang dirasakan sengaja digembar-gembur. "Aku hanya belajar dari pengalaman."

"Kamu bahkan sadari dulu udah tau memimpin tim. Kak Jelita merasakan kamu pantas untuk diangkat menjadi chief." Jelita menatap Winna yang sepertinya sudah berubah raut wajah.

Perlahan Winna melirik ke arah laut yang tampak tenang, tidak seperti waktu siang. "Kalo aku jadi chief, aku pasti akan tetap harus memberikan jasa aku di sana." Matanya tertuju pada Jelita. "Kak Jelita tau kan kalo semua itu pasti gak bakal terjadi, kan?"

Love, That One Word✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang