NATHAN meletakkan beberapa kayu yang dia pegang ke tanah. Tapak tangannya menguak poni rambut yang berantakan jatuh ke dahi ke belakang dengan menghela napas kasar. Nathan menutup matanya sejenak dan mendongak ke langit. Perlahan-lahan dia duduk dengan menjadikan pohon berukuran sedang sebagai tempat bersandar.
Nathan meraba-raba mencari sesuatu dalam saku celana yang sama dipakai berhari-hari selama di pulau itu. Sebuah ponsel dikeluarkan. Dia kembali mengingatkan hari pertama ketika dia dan Winna terdampar di pulau ini.
"Kita harus mengeringkannya. Siapa tahu ponsel ini masih bisa digunakan." Winna tiba-tiba angkat bicara.
Nathan mengangkat ponsel di hadapan wajah Winna. "Mana mau berfungsi kalau udah terkena air. Mana air laut lagi! Bahkan kalau itu berhasil, mana ada liputannya di sini?" Dia hanya menggoyang-goyangkan ponsel itu pasrah.
Winna menggelengkan kepalanya. "Gak juga. Liputan itu mah bisa diusaha. Seenggaknya kita bisa meminta bantuan untuk panggilan darurat kan? Dan kalo baterai masih ada, kita bisa menggunakannya sebagai lampu kalo ada kapal yang lewat di malam hari sebagai tanda selain menggunakan scarf ini."
Nathan menoleh ke arah sebatang kayu yang telah diikat dengan scarf berwarna merah milik Winna tidak jauh dari persisiran air laut. "Kalo masih berfungsi, aku gak yakin apa baterai ponsel masih ada atau enggak." Dia hanya membalik-balik telepon yang masih terlihat bagus itu. "Bisa jadi kalo udah basah, baterai akan bengkak gitu. Dan kalo kita keluarkan sim card dalam keadaan basah kayak gini, bisa rusak."
"Makanya aku nyuruh kamu buat mengeringkannya dulu." Winna terus mengambil ponsel Nathan dari tangan pemiliknya.
Nathan hanya menatap Winna yang sedang bergerak menuju batu besar. "Gak ada gunanya, Winna. Ponsel itu pasti gak bakal berfungsi. Udah ah, kita kan masih punya scarf merah milik kamu itu. Kalo mereka lagi mencari kita, mereka pasti akan melihat tanda bantuan kita ini."
Winna yang selesai meletakkan ponsel yang tidak menyala milik Nathan di atas batu berbalik. "Gak papa kalo kita berusaha, kan?" Dia kemudian berjalan menuju ke arah kayu yang Nathan tanamkan ke pasir dan mencoba menggoyangkannya untuk menguji kekuatannya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan meninggalkan Winna sambil menggelengkan kepalanya ketika itu.
Sekarang ponsel yang menyala itu diperiksa. Winna benar. Setelah dua hari meninggalkan di atas batu supaya terkena sinar matahari meskipun sekarang adalah musim dingin, ponsel ini kembali berfungsi. Hanya sahaja liputannya tidak bersambung. Namun, Winna tidak mengetahui kalau ponsel yang berada di tangan Nathan telah berfungsi hingga saat ini.
Nathan masih ingat waktu dia tersadar dari tidurnya ketika malam ketiga mereka di pulau itu. Dia ingat jelas kalau dia mendengar suara seperti mesin kapal dari kejauhan. Dia tampak bahagia dan langsung keluar dari gua yang dijadikan sebagai tempat berlindung daripada sebarang ancaman bahaya. Nathan tersenyum saat melihat lampu merah berkelap-kelip dari kejauhan tengah laut. Nathan yakin itu adalah kapal besar yang kemungkinan melewati kawasan ini.
Dia menoleh ke belakang dan melihat kayu yang sudah ditanam selama beberapa hari terakhir. Nathan berlari cepat ke arah kayu itu dan menariknya keluar lalu mengayunkan kayu yang sudah diikat scarf merah milik Winna tetapi usahanya tidak berhasil karena hari sudah sangat gelap. Orang-orang di atas kapal pasti tidak akan melihat scarf merah itu apalagi tidak ada sebarang cahaya berhampirannya.
"Oh iya, ponsel." Nathan terus menerkam ke arah batu besar yang telah dijadikan Winna sebagai tempat mengeringkan ponselnya. Dia dengan cepat menekan tombol on dengan harapan besar ponselnya akan menyala. "Yes!" Dia bersorak girang ketika sebuah merek mewah muncul di layar ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, That One Word✔️
FanfictionWinnareyn Aurel, dia adalah seorang dokter yang merelakan segala kemewahan dan dibenci oleh papa sendiri demi melanjutkan perjuangan sang kakak untuk terus mengabdi pada masyarakat. Hidupnya terlalu jauh berbeda jika dibandingkan sama saudara kandun...