9

484 43 3
                                    

"MAU pergi kemana sih?" tanya Winna yang masih berada di atas ranjang rumah sakit dengan kedua mata menatap wajah cantik sang kakak.

"Kakak mau keluar bareng Nathan, emang kenapa?" Kirana menjawab pertanyaan sang adik dengan tatapan lembut.

"Sore nanti, Kak Kiran jadi jemput aku kan?" tanya Winna kembali mengingatkan Kirana kalau sore nanti dirinya sudah diperbolehkan pulang. Dia sudah tidak sabar mau kembali ke desa lagi.

"Tentu aja kakak akan menjemput kamu, dek tapi kalo kakak gak sempat kakak akan menelpon supir untuk menjemput kamu di sini." Ujar Kirana masih dengan menatap ke arah Winna.

Sang adik hanya bisa mengeluh mendengar jawaban dari saudara perempuannya itu.

"Benaran mau langsung balik ke desa? Gak mau pulang dulu ke rumah?" sekarang giliran Kirana yang memberikan pertanyaan pada Winna.

"Kak Kiran, aku gak mau memperburukkan suasana lagi." Ujar Winna dengan sedikit senyuman. “Biarkan waktu yang menentukan gimana kehidupan aku selanjutnya. Untuk saat ini, aku gak mau membahas hal yang gak jelas itu berterusan soalnya aku tetap dengan keputusan aku, kak." Ujar Winna kembali.

"Winna, kamu juga tahu kan kalo papa sebenarnya gak pernah membuang kamu dari keluarga kita." Kirana mengulurkan tangannya untuk meraih tangan sang adik. "Kalo papa benaran udah membuang kamu, papa gak akan mungkin terus-terusan menyuruh kamu untuk pulang ke Jakarta. Papa juga gak mungkin membiarkan kakak untuk berhubungan dengan kamu lagi. Dan kalo juga papa membenci kamu, papa gak mungkin mau menjenguk kamu tadi malam." Kirana mengungkapkan semua kalimat yang ada dalam hatinya. Kirana hanya ingin membuat Winna kembali ke mereka. Kembali tinggal bersama dengan keluarganya di sini.

“Tapi tetap aja, papa udah gak mengizinkan aku untuk pulang ke rumahnya. Aku sendiri benci sama papa yang sering ngungkit kematian kak Dimaz. Aku gak terima." Ujar Winna kemudian tanpa peduli apa sang kakak rasakan.

Kirana melepaskan genggaman tangannya pada Winna lalu berkata. "Winna udah benci papa bukan gara-gara itu tapi kamu benci papa karena menyalahkan papa atas kematian Kak Dimaz. Dek, Kak Dimaz meninggal karena udah waktunya, bukan karena papa." Tutur Kirana kembali melanjutkan perkataannya.

Winna hanya bisa terdiam sambil melihat wajah Kirana lama. Hening beberapa detik sampai pada akhirnya Winna kembali membuka suaranya.  "Kak Dimaz mati di depan mata kepala aku sendiri." Ujar Winna yang mulai merasakan panas pada kolam matanya.

"Kakak tahu, kakak tahu soal itu." Kirana mencoba kembali membujuk Winna. "Kakak juga bisa merasakan gimana sakitnya perasaan kamu saat itu. Tapi tetap aja kepergian Kak Dimaz bukan karena papa penyebabnya." Kirana kembali mencoba memberikan pengertian pada Winna untuk tidak terus-terusan membenci papa mereka.

"Buat aku, papa adalah penyebab utama yang membuat Kak Dimaz pergi. Kalo aja waktu itu papa gak menghentikan persediaan obat-obatan, aku masih bisa untuk menyelamatkan hidup Kak Dimaz." Winna berujar dengan keras menyangkal semua perkataan yang keluar dari mulut Kirana.

"Winna, tetap aja kalo pa…"

"Udah cukup, aku udah gak mau membahas soal ini lagi. Aku capek." Dengan cepat Winna memotong perkataan yang akan keluar dari bibir Kirana.

Kirana hanya bisa menghembuskan napasnya dengan pelan. "Winna, boleh kalo kakak mau minta satu permintaan dari kamu?" Kirana kembali bertanya dengan suara lembut.

"Permintaan apa?" tanya Winna dengan penuh selidik.

"Kalo sampai suatu hari nanti aku minta kamu melakukan sesuatu buat kakak, apa kamu bisa mengabulkan permintaan itu demi kakak?" tanya Kirana yang membuat Winna semakin bingung.

Love, That One Word✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang