12

475 52 7
                                    

"UDAH bertahun-tahun jadi dokter spesialis bedah yang kerjanya mengoperasi masih aja melakukan kesalahan yang sama." Winna mendengus kesal. Bayangkan saja kalau kesalahan sekecil tadi bisa saja membuat satu masalah baru seandainya tidak ditangani dengan cepat. "Sok mau jadi dokter spesialis bedah keren ngumbar sana sini tapi hasilnya nihil."

"Dokter Winna." Jian masih mengikuti Winna yang melepaskan amarahnya dengan berjalan keluar dari ruang operasi. Siapa sih yang tidak marah karena kekacauan yang seharusnya bisa dihindari dengan gampang? Kalau Jian sendiri, rasa sudah diamuk Michella menggunakan tenaga dalam guna menjambak rambut kebanggaan gadis itu.

Winna melemparkan gaun operasi yang dipenuhi darah ke tempat sampah dengan perasaan kesal level tertinggi. Hatinya benar-benar mendidih saat mengingatkan kelakuan Michella yang tidak pernah berubah sejak dulu. Gadis itu sering melakukan kesalahan saat berada di ruang operasi. Bagaimana bisa Profesor Mahesa yang pengalamannya bertahun lebih lama itu menyerahkan tugasnya kepada Michella tanpa banyak memikirkan kesannya? Padahal, Profesor Mahesa bisa mencari orang lain untuk menggantikannya. Untungnya, dia sendiri sudah mengalami situasi seperti tadi berkali-kali. Bahkan jauh lebih buruk. Karena pengalaman itu juga, dia menyelesaikan operasi yang seharusnya dipimpin oleh Michella tanpa mempedulikan reaksi dokter itunya tadi.

"Pokoknya Dokter Winna benar-benar hebat. Aku benar-benar bangga." Jian menggelengkan kepalanya tidak percaya dan tersenyum sehingga matanya mengecil. Rasa bangga itu semakin menebal dalam diri mengingatkan kenyataan kalau dia sekarang sudah berteman dengan seseorang yang pernah dia jadikan panutan.

"Kamu juga udah melakukan yang terbaik, Dokter Jian." Winna tersenyum pada Jian yang sudah menjadi teman sekerjanya semenjak dia mula berkhidmat di sini. "Setelah beberapa kali nantinya, kamu pasti akan terbiasa untuk berdepan dengan situasi seperti ini. Jadi, jangan cepat nyerah atau takut."

"Yang benar?"

"Iya benar. Jadi, selamat ya." Winna menatap Jian yang dikabarkan baru saja terdedah ke dunia operasi.

Jian mendadak tersenyum lebar. "Kalo Dokter Winna yang jadi kepala mengoperasinya, aku ngerasa aku gak perlu takut lagi. Orang emang tangannya cekap gak tertolong. Mana emang dokter sendiri adalah Dokter Winna."

"Loh, apa hubungannya dengan aku?"

"Karena aku tahu siapa magang terbaik yang menjadi panutan ketika aku masih kuliah. Nama Dokter Winna ada dimana-mana yang bikin aku justru bangga karena sekarang kita jadi rakan setugas." Jian tersenyum tulus.

"Dih? Kamu mau aku traktir makan apa?" Winna memalingkan wajahnya. "Pujian kamu malah mengalahkan lelucon garing Profesor Mahesa."

Tawa mereka berdua langsung mengiringi di hadapan pintu masuk menghala ke ruangan-ruangan operasi itu.

"Ada apa ni kok tawanya kencang banget?" Jeffery tiba-tiba muncul dan menyapa mereka berdua.

"Oh Kak Jeffery, baru selesai operasi juga?"

Pertanyaan Winna dijawab dengan anggukan. Belum sempat dia ingin membuka mulut, Winna sudah bersuara kembali.

"Ya udah kalo gitu aku pamit duluan. Aku harus bersih-bersih."

Jeffery hanya menatap Winna yang sudah berlalu meninggalkan ruang laluan itu tanpa menyadari kalau Jian sedang menatapnya penuh tanda tanya. Jian itu nama sahaja sudah bergelar dokter, tapi rasa penasarannya melebihi anak remaja yang masih bingung bagaimana cara ingin menjawab soalan Matematika.

🍂🍂🍂

JEVAN masih lagi berusaha mencari jawaban dengan cara memandang Nathan yang sedang membaca buku menu di tangan. Randy di sebelah sama menunjukkan reaksi anehnya. Berhampiran meja tempat mereka duduk, seorang pelayan berdiri dan bersedia untuk menerima pesanan.

Love, That One Word✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang