32

386 47 11
                                    

"PAK HAIKAL!" Winna terkejut melihat keadaan Haikal.

"Dokter Winna," sapa Haikal lemah. "Kok Dokter Winna dateng bareng anak manja ini?" Mata Haikal redup menatap Gladis yang terlihat terpaku.

Nathan juga masuk bersama Eydan saat itu. Masing-masing mengenakan topi pengaman. Dia hanya diam memerhatikan sang istri yang tangannya begitu cepat mengeluarkan peralatan dari tas darurat.

"Saya akan memberikan obat pereda rasa sakit dulu ya, Pak Haikal." Tangan Haikal diangkat lalu disuntik dengan obat pereda rasa sakit. "Pak Haikal bisa merasakan kaki? Bisa gak kalo Pak Haikal menggerakkan ibu jari?"

Nathan menatap ketenangan sang istri meski menghadapi berbagai tipe pasien yang dalam kesakitan. Wajar istrinya itu disayangi semua orang.

"Bisa atau gak, semua itu gak bakal mengubah apapun," jawab Haikal yang berhasil tersenyum dengan susah payah.

Terlihat saat ini Gladis mula duduk di sebelah Winna dengan gerakan perlahan. Matanya berkaca-kaca dengan mulut yang terkunci rapat.

Winna mengambil senter dan menyorotkannya ke arah batu semen yang menghancurkan separuh tubuh Haikal. Kaki Haikal dibidik menggunakan senter itu. Benar-benar memar dan tidak bergerak sama sekali.

Haikal sedikit menyeringai kesakitan melihat Winna yang begitu lama fokus pada kakinya dengan senter di tangan. "Apa kaki saya bergerak, Dokter Winna?"

Winna terdiam. Dia menatap Gladis. Dia tahu Gladis pasti mengerti keadaan Haikal ketika ini jika dilihat dari raut wajah gadis itu. Winna tidak perlu menjelaskannya.

"Jujur, saya merasa terlalu sakit sebelumnya tapi kalo sekarang udah gak sakit."

Suara Haikal membuat Gladis perlahan menoleh dan menatap wajah Haikal.

"Tapi melihat wajah mantan tunangan saya sekarang udah bikin semua rasa sakitnya hilang, Dokter Winna."

Gladis sudah tidak mampu untuk menahan diri daripada menangis. Air matanya perlahan mengalir turun membasahi pipi walaupun tangannya bergerak cepat menhilangkan jejak.

Winna mengukir tawar menyambut candaan Haikal dalam keadaan seperti ini. "Kayaknya Suster Gladis harus selalu berada di depan mata Pak Haikal nih. Aku udah bisa keluar karena obatnya ada di sini." Winna menanggapi lelucon Haikal dan dengan lembut menepuk paha Gladis sebelum menatap Eydan. "Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengangkat runtuhan ini?"

Eydan tidak menjawab pertanyaan itu sebaliknya mengatakan sesuatu yang membuat Winna mengerutkan keningnya. "Sebenarnya ada lagi pasien lainnya. Jadi, Dokter Winna harus menemui pasien yang satu itu dulu sebelum saya ngomong sesuatu."

🍂🍂🍂

WINNA menggantung pack IV pada  besi panjang tepat di saat dia selesai menyambungkan jarum ke belakang punggung tangan Riko yang bersandar lemah. Bibirnya kering dengan wajah pucat dipenuhi debu.

"Dokter Winna, aku benar-benar sakit, dok. Apa Dokter Winna gak bisa membuang besi tusukan ini dari tubuh aku secepatnya?" Riko bertanya dengan juntaian air mata jatuh ke pipi.

Winna menatap Riko. Tidak pernah berpikir dalam kepalanya kalau pasien lain yang perlu dia temui dan lihat kondisinya adalah Riko. "Jangan bergerak. Kamu masih beruntung karena besi ini gak mengenai jantung kamu tetapi kalo kamu bergerak, itu mungkin menyentuh organ yang lain."

"Apa aku akan mati di sini, Dokter Winna?"

Pertanyaan Riko membuat Winna menggigit bibirnya. "Kalo kamu bisa duduk tanpa bergerak banyak, kamu bakal aman."

Love, That One Word✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang