40

784 58 23
                                    

JELITA melangkah masuk ke ruang istirahat para dokter dan duduk di sofa yang terdapat di tengah-tengah ruangan. Sofa yang dulunya sering menjadi tempat tidur Winna saat Winna masih ada bekerja di Pusat Medis Metropolitan. Di tangannya ada laporan pasien yang belum sepenuhnya diperiksa. Kepalanya meneliti seluruh ruangan. Dalam tempoh waktu lima bulan, semuanya tampak berubah. Suasana di ruangan itu terlihat suram meskipun sebenarnya tidak ada penambahan atau peralihan posisi perabot. Dia mengukir senyum hambar. Ruang ini dulunya adalah tempat pertama yang akan Winna tuju jika gadis itu selesai melakukan operasi. Dengan malas Winna akan tidur di sofa ini dan mengabaikan Jian yang sibuk menggoda dan Gladis yang mengajaknya makan.

Suasana itu sudah tiada. Semuanya sudah hilang. Jian juga jarang terlihat di ruangan ini. Jelita merindukan Winna. Orang yang selalu ada di saat dia mengalami kesusahan sekarang menghilang tanpa kabar apapun. Sedang dia memikirkan Winna, suara seseorang melangkah masuk membuatnya menoleh. Michella, satu-satunya manusia yang sepertinya tidak peduli dengan apa yang sudah terjadi.

"Dokter Jelita," tegur Michella dengan alis terangkat. Dia melangkah menuju mesin pemanas air. "Apa Dokter Jelita masih mengharapkan Winna kembali ke sini?"

Jelita sedikit mendengus. "Lalu kenapa kalau iya? Apa aku melakukan sesuatu yang salah di mata kamu?"

Michella menggelengkan kepalanya. Dia meraih minuman yang sudah penuh di cangkir. "Enggak kok. Kan cuma nanya doang. Santai aja kali, sewot amat," suaranya tidak menunjukkan ketulusan sama sekali.

"Mendingan berhenti bersikap kayak gini, Dokter Michella." Jelita meletakkan laporan pasien di atas meja.

"Dokter Jelita seharusnya ngomong semua itu ke diri sendiri." Michella memutar bola matanya malas. Dia berjalan ke arah Jelita lalu duduk. "Ada apa dengan semua orang sih? UGD udah menjadi kayak kamar mayat! Suram banget. Aku nak betah kalo situasinya gini terus."

"Kalo Dokter Michella merasa kayak gitu, berarti kita benar merasakan kehilangan seseorang yang disayangi semua orang." Jelita menjawab dengan santai membuatkan Jelita mendelik tak terima ke arahnya.

"Siapa maksudnya? Si Winna?" Michella mencibir sambil mengangkat tangannya. "Iya sih, dia emang benar gak ada di sini tapi hei... aku gak menyayangi. Jadi kalo dia emang gak ada di UGD, terus kenapa? Dia bukan satu-satunya ahli bedah di sini. Winna sendiri, apa gak merasa bertanggung jawab waktu pergi gitu aja? Dia pikir kalo dia itu masih kecil? Apa karena rumah sakit ini milik keluarganya maka dia bebas buat dateng dan pergi gitu aja?" Dia menggelengkan kepalanya. "Aku semakin lelah ya kalo Dokter Jelita mau tau. Liburan yang tenang tanpa gangguan udah jarang banget sekarang ini. Mana aku selalu aja masuk ke OR setiap hari."

Jelita sudah mengerutkan kening. Ketika Michella mengatakan sesuatu, dia tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Dia meraih kembali laporan pasien yang ingin dia periksa sebelumnya. "Mungkin ini adalah udah saatnya buat Dokter Michella belajar gimana menjadi dokter bedah kompeten kayak Winna. Dokter Michella harus bijak memanfaatkan kesempatan ini. Bukannya ini adalah waktu yang Dokter Michella tunggu-tunggu selama ini?"

"Heh, Dokter Jelita! Gak usah berlebihan!"

Bibir Jelita hanya mengukir senyum hambar. Dia tidak peduli dengan tatapan sebal Michella. Tepat ketika dia hendak melangkah keluar, pintu terbuka dari luar. Jelita kaget melihat wajah Jevan yang kelelahan seperti pria itu selesai berlari jauh saja. "Ada apa dengan kamu, Jevan?" Bingung sendiri Jelita melihat ekspresi Jevan yang tidak bisa diartinya dari raut wajah itu.

"Kak Jelita." Jevan menatap Jelita dengan tidak sabar. "Kenapa Kak Jelita gak menjawab panggilan aku?"

"Ponselnya ada di ruang kerja. Ada apa?" Jelita masih menatap Jevan dengan tatapan bingung sejak tadi. "Aku aku baru aja selesai memeriksa kondisi pasien."

Love, That One Word✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang