HARI malam begitu cepat kembali berganti siang. Gua yang dijadikan tempat berlindung itu diterangi cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah lubangnya. Winna perlahan membuka matanya.
"Selamat pagi, sayang."
Winna kaget begitu matanya terbuka, ucapan itu menyapa kedua pendengarannya. Orang yang mengucapkan ucapan itu ternyata hanya berjarak beberapa inci sahaja dari depan wajahnya. Winna merasa pipinya menjadi hangat kerana sangat malu. Saking malunya hingga kedua telapak tangan dirapatkan untuk menutupi wajah.
Nathan tersenyum senang melihat wajah merah Winna. Gemes banget istrinya. Dia menarik tangan Winna daripada menutupi wajah sang istri cantiknya itu. "Kenapa ditutupin sayang?"
Winna menggelengkan kepala. Rasanya dia salah tingkah sendiri melihat cara Nathan memandangnya. Nyatanya, suara Nathan dan gaya bicara pria itu yang tidak seperti biasa membuat bulu kuduk Winna berdiri.
"Sayangnya Nathan lagi malu nih?" Nathan menyunggingkan senyum menggoda.
Winna menggigit bibir sendiri. Suaranya tidak terkeluar untuk sekadar menjawab pertanyaan Nathan. Sebuah perasaan yang sulit untuk dideskripsikan. Mungkinkah ini yang dinamakan indahnya cinta? Pikiran langsung itu membuat Winna merasa wajahnya tersiram oleh cat merah sahaja apatah lagi saat mengingatkan apa yang terjadi kepada mereka berdua semalam.
Nathan masih menatap Winna tanpa niat ingin mengalihkan pandangan. Punya istri yang cantik kan untuk ditatap. Iya kan? Pipi Winna memerah. Dia tahu Winna pasti malu. Dan entah kenapa Nathan senang melihat Winna seperti ini. Diri Winna yang tidak pernah ditunjukkan kepada siapapun kecuali dia. Bisa atau tidak Nathan mengumumkan kalau dia adalah the best man karena bisa mendapatkan Winna karena sadari dulu banyak yang mengincar sang istri. Tidak ingin membuat istrinya terus merona, Nathan meletakkan tangannya di dahi Winna. Merasai suhu badan wanita mungil itu. Syukurlah, panasnya mula berkurang.
Mata Winna hanya mengerlip ke arah Nathan sebelum terbuka lebar ketika sebuah ciuman mendarat di pipinya.
"I love you, sayang!"
🍂🍂🍂
PUSAT MEDIS METROPOLITAN sibuk seperti biasa. Jevan keluar dari ruangan kerja dengan stetoskop tergantung di leher. Dia berjalan menuju bangsal pasien sebagai rutinitasnya. Lebih tepat adalah bangsal yang menampung pelbagai pasien termasuklah pasien kanker otak yang baru saja menjalani operasi olehnya kemarin. Dia sempat menyapa Jelita yang menuju UGD. Meski Jevan terlihat tenang, hatinya masih bergejolak gelisah. Termasuk hari ini, sudah seminggu Winna dan Nathan menghilang.
Lebih membimbangkan, belum ada tanda-tanda kalau mereka berdua akan segera ditemukan. Pihak polisi dan petugas penyelamat masih berusaha mencari. Dia sangat berharap mereka berdua tetap selamat meskipun ada mulut-mulut tidak bertanggung jawab menyebarkan kalau mereka sudah meninggal.
Jevan menggelengkan kepalanya dan mendekati ranjang pasien yang masih tidur lelap. Salah satu perawat tersenyum padanya saat dia masuk sebelum dia menyambut berkas pasien yang diserahkan kepadanya. Dia memeriksa berkas rawatan itu. Perkembangan yang cukup baik. Lalu, Jevan menempelkan stetoskop ke telinga dan memeriksa pasiennya. Berkas rawatan pasien diangkat lagi sebelum Jevan menulis sesuatu dan menyerahkannya kembali ke perawat. Ketika itu, ponsel yang ditetapkan dalam mode silent dalam sakunya bergetar.
"Iya, Om Bagas?" Dia menjawab panggilan yang ternyata daripada Bagas. Saat itu kaki bergerak keluar dari bangsal.
"Polisi udah berhasil menemukan tanda-tanda bahwa Nathan dan Winna masih hidup."
"Benarkah? Di mana?" Jevan hampir melompat keriangan mendengar kabar itu. Dia tersenyum lebar.
"Di sebuah pulau kecil. Kita lagi bersiap-siap menuju ke sana sekarang." Suara Bagas di ujung telepon juga terdengar senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, That One Word✔️
FanfictionWinnareyn Aurel, dia adalah seorang dokter yang merelakan segala kemewahan dan dibenci oleh papa sendiri demi melanjutkan perjuangan sang kakak untuk terus mengabdi pada masyarakat. Hidupnya terlalu jauh berbeda jika dibandingkan sama saudara kandun...