34

402 44 8
                                    

EYDAN mencapai tali panjang dan berlari kembali ke gedung yang hancur.

Winna berdiri dengan raut khawatir tapi dia masih mengontrol reaksi wajahnya. Jevan di belakang hanya bisa memerhati. Dia tahu Winna juga khawatir tentang kondisi Nathan yang terputus sambungan sebagaimana dirinya ketika ini.

🍂🍂🍂

RUNTUHAN semen hancur yang jatuh menyebabkan kawasan tempat Yulli ditemukan sangat berdebu. "Pak Nathan! Pak Nathan!" Yulli memanggil dengan susah payah. "Pak Nathan, apa tuan baik-baik aja?" Dia mencoba menggoyangkan tubuh Nathan yang tidak sadarkan diri. Nathan tidak bereaksi menyebabkan Yulli terkesiap. "Apa om ini udah mati?" Rasanya ingin menangis saat itu juga. "Pak Nathan, bangun! Pak Nathan berat! Mana badannya om ini berat banget!" Yulli memejamkan matanya dengan helaan napas berat. "Apa benar Pak Nathan udah mati?" Mata Yulli sudah mulai berkaca-kaca.

"Tolong!" Dia berteriak meskipun tenggorokannya sakit. "Apa ada yang mendengar suara aku?? Seseorang udah mati di sini!" Yulli terus menangis. "Tolong!"

Saat itu, Nathan bergerak sedikit. "Jangan berteriak begitu keras, bocil."

Yulli yang menangis melebarkan matanya. "Pak Nathan, apa tuan baik-baik aja? Pak Nathan! Aku pikir Pak Nathan udah mati!" Air matanya mengalir deras.

Nathan bangkit dengan susah payah daripada terus meremukkan tubuh Yulli memandangkan dia sempat tidak sadarkan diri di atas tubuh gadis itu. "Berhenti menangis  bocil. Tangisan kamu menyebalkan." Nathan bangkit dan duduk bersila.

"Terserah aku deh!" Yulli terus menangis dalam posisinya yang masih terbaring.

"Udah sakit masih mau melawan" Nathan menyentuh dahi sendiri. Darah! Pasti karena dia terkena runtuhan semen saat mencoba melindungi Yulli.

Yulli mencoba bangkit dari tempat dia berbaring dan bersandar pada dinding yang belum hancur.

Nathan mengambil pack infus yang terjatuh dan menggantungnya kembali. "Apa kamu sakit?"

Yulli terbatuk pelan sebelum menatap Nathan. "Pak Nathan seharusnya gak perlu mengkhawatirkan aku. Lihat diri Pak Nathan dulu. Pak Nathan sendiri gak terlihat berada dalem keadaan baik. Ada darah di kepala bapak dengan tangan bapak." Yulli khawatir lagi.

"Aku tau." Nathan memeriksa jarum infus di tangan Yulli. Untung belum tercopot. Dia lalu melihat ke pergelangan kaki Yulli yang terlihat memar. "Sepertinya kaki kamu juga terluka." Dia menyentuhnya.

Yulli menjerit kecil.

Nathan menghela napas. "Jadi, apa yang bakal kita lakukan sekarang? Jalan keluarnya terhalang mana kita masih terjebak di sini." Nathan meraih walkie talkie. "Apa ada orang di sana? Ini Nathan." Dia mencoba menyambungkan kembali saluran walkie talkie tetapi gagal. "Eydan? Eydan?"

Yulli membuat mimik muka. "Ini membuat aku ragu." Dia terlihat kesal pada saat ini. "Kenapa aku harus bersama om ini dalam situasi gawat kayak gini." Yulli menatap Nathan. "Lupakan aja, anggap aja aku udah mati." Dia menutup matanya.

"Kamu gak akan mati." Nathan melihat Yulli sekilas sebelum pandangannya terarah kembali ke walkie talkie di tangannya.

"Emang bukan sekarang. Mungkin nanti bakal mati juga." Yulli kedengaran pasrah. "Kita udah kehilangan kontak dengan mereka." Suaranya terdengar seperti orang yang putus asa.

"Jangan khawatir, kita bakal keluar." Nathan menyeka darah yang mengalir dari kepalanya dengan telapak tangannya. "Kamu pasti udah ditunggu pacar kamu, kan?"

Yulli menatap Nathan. "Gak ada. Kalo ada yang menunggu itu hanya ibu dan Kak Nelly."

"Cowok yang sering bersama kamu itu? Yang sering tertawa?"

Love, That One Word✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang