35

458 47 22
                                    

"KIRANA, barusan Nathan menghubungi papa."

Kirana yang baru saja masuk ke ruangan kerja papanya langsung tersenyum mendengar perkabaran yang baru diterimanya itu.

"Mereka semua selamat dan berada dalam keadaan aman. Tim medis juga selamat, hanya Dokter Jeffery yang terluka. Tangannya patah tapi masih dalam kondisi yang baik juga."

"Kapan mereka akan kembali ke Jakarta?"

"Papa udah diskusi dengan administrasi tadi. Helikopter dan tim medis dari rumah sakit lain akan turun ke lapangan untuk membantu dan melakukan pertukaran tugas."

Kirana menghela napas. "Papa..."

Bagas menunggu putrinya yang seolah ragu untuk mengatakan sesuatu sebelum dia terlebih dulu berbicara. "Jangan khawatir, Nathan pasti bakal kembali ke pangkuan kamu, Kiran."

Kirana  terdiam saat mendengarnya. Bukan itu yang ingin dia omongkan dengan papa. Apa yang ada di kepalanya begitu sulit untuk diungkapkan setelah apa yang terjadi. Kirana tidak tahu kenapa dia merasakan kalau bukan Nathan yang dia inginkan ada di depan matanya sekarang. Yang dia benar-benar inginkan adalah adik bungsunya. Yang dia inginkan adalah Winnareyn Aurel. Sama seperti dia inginkan Dimaz kembali dulu. Jujur, Kirana begitu ragu ingin menanyakan Winna ke papa waktu itu.

"Kak Dimaz, kembalilah ke Jakarta."

Ekspresi wajah Dimaz jelas terkejut mendengar permintaan Kirana. Dia menatap wajah sang adik yang menunggunya untuk menjawab. "Emang kenapa?"

"Aku gak suka papa memperlakukan Kak Dimaz kayak gini. Aku gak terima kakak diusir dari rumah seolah kakak bukan anak papa. Ayo kak, pulang dan bekerja di rumah sakit kita. Minta maaf sama papa. Aku yakin papa pasti kelepasan kerana terlalu emosi."

Kerutan masih tercetak jelas di dahi Dimaz. "Kakak udah tetap dengan keputusan kakak. Kakak gak peduli soal papa lagi." Dia memasukkan laporan pasien terakhirnya hari ini ke laci meja. "Apa kamu dateng jauh-jauh ke sini cuma untuk membujuk kakak? Kiran, kakak tahu kamu gak akan pernah suka dateng ke tempat kayak gini. Jadi, benar kamu hanya ke sini buat kakak?" tanyanya sambil bangkit dari kursi dan menuju wastafel di ujung ruangan klinik yang kecil itu.

"Kakak bisa aja mikir kayak gitu atau gimanapun karena aku benar-benar mau kakak kembali." Kata-kata itu dengan cepat meluncur dari bibir Kirana.

Dimaz hanya tersenyum membalasnya. Kacamata berbingkai hitam dibenarkan dengan ujung jari. Sudah malas untuk bersuara mengatakan keenganannya untuk kembali ke Jakarta lagi. Toh, memang Dimaz juga tidak akan pujuk rayu sesiapapun dan dia tidak peduli pada seluruh dunia yang menentang walaupun cuma satu orang sentiasa ada di pihaknya.

Winna, satu-satu manusia yang sentiasa mendukung Dimaz muncul tiba-tiba dengan bersandar di pintu masuk membuatkan kedua saudara itu menoleh ke arah adik bungsu mereka dan menghentikan perbicaraan mereka tanpa ada persetujuan.

Love, That One Word✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang