"Muan!" Panggil Tuk Dampo ketika melihat kedatangan remaja berpakaian adat itu ke lokasi Balai Adat di mana tengah penuh dengan kesibukan orang-orang. Para pemuda banyak yang membelah kayu dan mengumpulkannya, sebagian ada yang mengupas sabut kulit kelapa, serta kesibukan khas orang yang sedang bersiap menyelenggarakan hajatan.
Amuan, remaja yang dipanggil itu lekas mendekati Tuk Dampo, bersamanya mengekor Putra dan Maman, dua sahabat barunya yang tadi diajaknya jalan-jalan keliling kampung.
"Saye', Tuk!" Muan menghampiri petinggi adat itu dengan sopan.
"Kalian sudah kenal rupanya." Tuk Dampo memandang pada Putera dan Maman yang ada di belakang Muan, "nanti mereka berdua menginap di rumahmu, bisakan?"
Muan melirik dua teman barunya sambil tersenyum, Muan mengangguk dengan senang hati, "Bisa Tuk! Malah saya senang bisa punya teman baru sekaligus membantu Atuk menyelenggarakan pesta kawinan Dang Apek."
"Terima kasih, tak sia-sia lembah mengirimmu ke kota buat sekolah." Tuk Dampo mempersilahkan Muan buat meninggalkannya.
Aris yang sedari tadi bersama dengan calon ayah mertuanya itu turut memperhatikan Muan dengan seksama. Muan masih asing bahkan tak dikenal olehnya, bahkan ketika dulu dia di lembah ini tak sekali pun melihat tampang remaja itu.
"Siapa dia, Tuk?" Tanya Aris.
"Oh, dia Amuan."
"Kenapa saya tidak pernah melihatnya?"
"Dia satu-satunya remaja Tarang yang dikirim ke kota buat sekolah." Jelas Tuk Dampo.
Aris mengangguk-angguk, pantas saja dia tak pernah melihat anak itu. Aris mengikuti langkah Muan yang tampak akrab dengan Putra dan Maman dengan matanya. Memperhatikan punggung remaja belia itu dengan tatapan senang. Mungkin Muan sebaya dengan Putra, atau malah bisa lebih tua setahun.
"Kasihan dia, Nak!" Ucap Tuk Dampo sambil mengelus dada saat lelaki tua itu juga turut memandang pada Muan.
"Kenapa, Tuk?" Aris penasaran, dia tak sadar jika Apek yang duduk di sebelahnya sudah manyun dan masam sedari tadi sejai kemunculan Muan.
"Orang tuanya menjadi korban sewaktu terjadi kebakaran serta serbuan Flora tiga tahun yang lalu. Masih atuk ingat ketika Amuan sampai ke Lembah untuk pemakaman orang tuanya, dia menangis sejadi-jadinya seperti orang gila."
Aris tercekat, ternyata peristiwa berdarah tiga tahun yang lalu meninggalkan luka yang mendalam bagi orang-orang Tarang.
"Ya sudah, Nak Aris mengobrollah di sini dulu dengan Apek, oh iya sebaiknya biasakan memanggil saya dengan sebutan Apak. Sedikit lagi kau akan jadi anakku, Dang, dan saya akan jadi ayahmu." Selesai berucap Tuk Dampo bangkit dan berdiri, dia mengajak serta calon besan dan tamu-tamunya. Dia ingin menunjukkan rumah-rumah yang akan menjadi tempat menginap para tamu itu.
Begitu di tikar itu tinggal Aris dan Apek, Apek langsung terang-terangan unjukkan wajah merengut, tentu saja Aris menjadi heran.
"Kau kenapa?"
Apek tak menyahut, dia pura-pura tak mendengar.
"Apek? Telingamu tidak bertungkik, kan? Ditanya itu dijawab!" Kesal Aris.
"Siapa yang tak kesal melihat calon pendampingnya memelototi pemuda ganteng yang lain," Sewot Apek.
Aris masygul, tak menyangka Apek cemburu gara-gara dia memandangi Muan. Aris geli sendiri melihat raut kusut nan masam yang tercetak di wajah Apek. Aris mendapatkan ide untuk menggoda Apek.
"Pek," Aris menyentuh dan memeluk bahu Apek seakan-akan ingin bermanja.
"Apa?" Ketus Apek dengan buang muka ke jurusan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ksatria Lembah Tarang
RomanceBL story, yang anti LGBT, homophobia mending jauh-jauh, entar ketularan terus ketagihan. Hahahaha yang jelas ini bukan zona nyaman buat kalian. Jadi buat apa berkecimpung di zona yang bukan frekuensi kalian. Hormati saja. Boleh membenci tapi jangan...