Bab 51 - Tamu-Tamu Dari Kota

358 35 1
                                    

Anak-anak Lembah Tarang tercengang memperhatikan tiga benda besar yang melayang-layang di udara di atas langit Tarang.

"Pantaw! Ade'k mambang kacipung tarabang!" (Lihat! Ada capung hantu terbang) Teriak beberapa anak yang masih polos dan jauh dari peradaban modern. Kanak-kanak lelaki hanya bercawat, sedangkan yang perempuan mengenakan kain jarik yang dijadikan kemben. Semua melihat ke langit di mana tiga buah benda besar sedang melayang-layang, tiga helikopter ternyata.

Ketika melihat tiga benda itu semakin mendekat ingin mendarat anak-anak langsung lari berhamburan, terlebih lagi ternyata Dang Apek, Aris, Tuk Dampo dan kedua wakilnya juga menyuruh mereka menjauhi lapangan besar di mana helikopter-helikopter itu akan mendarat. Anak-anak yang masih polos itu berlarian bersembunyi ke kolong rumah-rumah penduduk yang ada di pinggiran lapangan luas itu. Mereka mengira kalau tiga helikopter itu adalah mambang (hantu) yang turun dari langit. Lucu sekali!

Ketiga helikopter itu mendarat. Dari sebuah helikopter melangkah turun Pak Hermanto dan istrinya, juga Ki Slamet, dan Nek Odah. Dari sebuah helikopter lagi turun pula Dika, Budi, si kecil Kirana, Bik Inah dan Nek Jamilah. Lalu dari  helikopter terakhir turun Putra dan Maman, helikopter terakhir ini juga mengangkut karung gula dan garam. Maman dan Putra sudah sibuk saling berpotongan membawa karung itu. Buat persiapan pesta.

Aris dengan dipapah oleh Apek menyambut kedatangan orang tua dan sahabat-sahabatnya itu, mereka sengaja diundang karena hari pernikahan akan segera tiba.

Pak Hermanto langsung memeluk Aris, Bu Murtini sang ibu menatap anaknya dengan haru. Aris agak malu buat melihat sang ibu, dia memang tak pernah cerita kalau dia menyukai lelaki. Bu Murtini seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tiba-tiba seorang wanita paruh baya segera menghampirinya dan mengalungkan kain tenun yang indah ke leher perempuan itu. Luhruni yang melakukannya, calon besannya sendiri.

Perempuan yang sudah memiliki anak memang harus menenun satu kain khas yang kelak akan diberikan kepada calon besan mereka di masa depan. Sebagai simbol penyatuan ikatan dua keluarga.

Bu Murtini yang sudah kenyang akan pengalaman masuk ke berbagai budaya menyambut tradisi itu dengan bahagia dan penuh hormat. Dia memang sering mendampingi sang suami yang sering mengunjungi lokasi-lokasi terpencil yang berbatasan dengan hutan, tak hanya sebatas provinsi mereka, namun hampir ke seluruh wilayah Indonesia.
Luhruni senang melihat besannya itu memuji kain tenun pemberiannya. Bahkan menimang-nimang dan menciumi kain itu.

Kedua perempuan itu dengan didampingi Dangruni Naras telah melangkah mendahului masuk ke dalam balai adat yang akan dijadikan lokasi pesta pernikahan Aris dan Apek. Tuk Dampo mengajak seluruh tamunya untuk beristirahat sambil menikmati panganan khas suku Tarang. Beberapa anggota TNI yang mendampingi sang ayah telah berbaur dengan orang-orang Tarang sambil menikmati sajian sederhana mereka. Bahkan beberapa polisi hutan juga telah hadir memeriahkan suasana.

Aris juga telah duduk di atas gelaran tikar pandan di bawah satu pohon kayu rindang di samping Balai Adat. Bersamanya juga ada pak Herman, Apek, Tuk Dampo, Tuk Rakeh, dua Tuk dame serta Dang Tala. Mereka bercengkrama dengan hangat.

"Beginilah Pak Besan, suasana lembah ini. Semua serba terpencil." Tuk Dampo merendah.

"Tak apa, saya lega anak saya diterima di lembah ini dengan penuh hormat dan kasih sayang. Sekarang saya tak perlu khawatir jika Aris benar-benar tinggal di sini." Tanggap Pak Herman.

"Justru kampung-kampung seperti ini yang bikin betah. Jauh dari hiruk pikuk keributan dan persaingan." Salah seorang pilot Helikopter yang satu tikar dengan mereka juga menimpali. Bahkan dia telah mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan kampung terpencil yang baru sekali ini dia kunjungi. Dia takjub, melihat betapa indah dan asrinya tempat ini. Pilot helikopter itu seketika tertawa tatkala melihat anak-anak Tarang sudah duduk melingkar mengelilingi sambil memandangi helikopter yang terparkir di tengah lapangan. Bahkan kejap kemudian anak-anak itu telah bermain tam-tam buku memutari helikopter. Sungguh pemandangan langka. Anak-anak kota mana ada lagi yang mengerti permainan tradisional itu. Suara tawa dan nyanyian anak-anak itu begitu menentramkan.

Ksatria Lembah Tarang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang