Nama tokoh, tempat kejadian dan konflik cerita ini hanya fiktif belaka.
.
.
.
.
******
Malam mulai menyapa meninggalkan jejak-jejak senja yang semula masih dapat terlihat dari celah jendela yang telah tertutup sempurna. Disebuah kamar bernuansa abu-abu, cahaya lembut dari lampu kamar menyorot wajah Jesher yang terlelap dengan peluh membasahi kening sampai lehernya.
Siang tadi, sebuah ledakan emosi yang selama ini remaja itu pendam membuat tubuhnya yang lelah berakhir jatuh pingsan dalam pelukan sang Ayah. Tarendra lalu membawanya ke ruang medis yang memang tersedia dikantor RAS untuk mendapat penanganan, beberapa jam Jesher habiskan mendekam didalam ruangan itu hingga akhirnya di ijinkan untuk pulang. Namun kondisinya masih jauh dari kata baik, demamnya masih terasa dan bahkan terlihat sangat lemas hingga terus tertidur sampai sore berganti malam.
Kini di samping tempat tidur ada Tarendra yang duduk diselimuti kegelisahan. Menatap penuh dengan ribuan penyesalan tak berarti, menyaksikan tiap hela napas teratur yang Jesher keluarkan. Tangan kekarnya memegang kain basah yang baru saja diperas, dengan hati-hati mengompres dahi putranya yang masih terasa panas.
Dalam diam Tarendra terus mengingat kembali kata-kata yang ia lontarkan tadi siang. Berharap bisa memutar waktu kembali untuk menghindari semua perkataan yang menyakitkan dan amarah yang tak seharusnya ia luapkan dengan kasar. Sekarang, ditengah keheningan yang menemani, Tarendra hanya bisa meminta pada sang pencipta untuk memberikan kesembuhan pada Jesher, agar ia bisa meminta maaf dengan benar.
Jarum jam terus berputar, meskipun tubuhnya mulai terasa letih tatapan Tarendra tetap memancarkan keteguhan dan perasaan yang begitu dalam. Ia akan terus terjaga, memastikan bahwa dia akan terus berada disana hingga menjadi ornag pertama yang akan Jesher temukan saat terbangun nanti.
Hingga beberapa saat setelahnya, tangan Jesher bergerak dan secara perlahan kedua matanya terbuka sempurna. Tarendra langsung mendekat, bersiap jika anak itu meminta ataupun mengeluhkan sesuatu.
"Udah enakan?" Tarendra bertanya dengan gurat cemas. Tangannya naik meraba pipi dan leher Jesher yang masih terasa hangat. Lalu desah resah ia keluarkan karena tak kunjung mendapat balasan.
"Ada yang sakit? Bilang sama Ayah."
Tanpa menjawab pertanyaan sang Ayah, remaja itu memaksakan tubuhnya untuk duduk kemudian membalas tatapan lelaki disampingnya dengan kesedihan yang sama.
"Aku minta maaf."
Mata Tarendra berkaca-kaca, tatapan Jesher dan getar ketakutan yang mengalun dalam kalimat itu berhasil mencabik-cabik hatinya. Bahkan disaat sudah sehancur ini, Jesher masih harus tetap meminta maaf atas dosa yang dipaksakan semesta kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRANGER
General FictionTerendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak terduga. Bocah 17 tahun mantan anggota kelompok buronan? Tapi itulah faktanya. -------------------- #...