Nama tokoh, tempat kejadian dan konflik cerita ini hanya fiktif belaka.
.
.
.
.
*****
Semua orang pasti pernah merasakan sebuah penyesalan, pahit dan menyakitkan, namun selalu menjadi titik balik pembelajaran manusia atas kesalahan yang diperbuat. Tapi, Tarendra tak pernah mengira bahwa rasanya akan semenyesakkan ini hingga menarik napas pun begitu sulit, seolah udara disekitar ikut menghindar, menghukum seorang pecundang sepertinya.
Di depan ruang IGD itu Tarendra menunduk dalam, pandangannya jatuh pada dua tangannya yang gemetar saling bertautan, sementara ia terjebak dalam kekosongan di waktu yang cukup lama hingga tak lagi merasakan aroma antiseptik yang menusuk, atau hiruk-pikuk orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya. Tidak ada pula cara yang bisa dia pikirkan untuk keluar dari jurang keterpurukan itu.
Dalam setiap detik yang terlewati, dibenaknya hanya terlintas bayang-bayang menakutkan akan sebuah kehilangan. Peristiwa yang mungkin terulang kembali dan sakitnya tidak akan bisa dia tahan lebih dari sebelumnya. Baru dua minggu yang lalu dia duduk di tempat yang sama, menghadapi situasi yang sama, namun, kali ini semuanya terasa sangat jauh berbeda.
"Ayah mungkin nunggu waktu. Tapi waktu nggak bakal nunggu Ayah. Kalau aku mati sebelum Ayah bisa nerima aku lagi, itu salah Ayah sendiri."
Tarendra menutup mata dan telinga saat ingatan dihari itu datang. Memukulnya lebih keras hingga tersadar bahwa kata-kata memang bukan untuk dipermiankan, bukan untuk diucapkan sembarangan.
"KAMU HARUSNYA MATI AJA!"
Lelaki itu menggeleng pelan, tidak pernah siap jika semua itu benar-benar terkabulkan. Ia ingin waktu lebih banyak bersama putranya, dia butuh lebih banyak pertemuan dan obrolan berdua dengan anak itu untuk memperbaiki semua yang rusak, jika memang Jesher masih mengijinkan.
Jadi, dengan penuh penyesalan yang melingkupi, dalam hati, Tarendra untuk pertama kalinya benar-benar memohon kepada Sang Pencipta untuk tetap membiarkan Jesher bersamanya.
"Pak."
Suara pelan Ellie mengembalikan kesadaran Tarendra, dia menoleh dan mendapati sang asisten sudah duduk disampingnya dengan mata berkaca-kaca. Tarendra bahkan tidak menyadari sejak kapan Ellie di sana.
Tangan lembut itu kemudian menepuk pundak lebar Tarendra. Melihat betapa kacau lelaki itu ia bisa menerka bahwa kejadian ini sudah mengembalikan Tarendra yang dulu dia kenal. Sosok lelaki yang begitu menyayangi putranya hingga rela melakukan apapun untuknya.
"Ellie. Saya..." Tarendra menatap sendu tak sanggup melanjutkan ucapannya. Napasnya tercekat, perih yang menyesakkan dada perlahan naik, mendesak hingga kedua mata itu berkaca-kaca, penuh perasaan yang tak mampu ia ungkapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRANGER
General FictionTerendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak terduga. Bocah 17 tahun mantan anggota kelompok buronan? Tapi itulah faktanya. -------------------- #...