Nama tokoh, tempat kejadian dan konflik cerita ini hanya fiktif belaka.
.
.
.
.
******
Tarendra duduk ditepi ranjang besar di kamar Jesher. Menatap nanar punggung putranya yang dipenuhi memar bekas pukulan Harsa tadi siang.
"Separah ini kenapa kamu nggak ngomong?" Tarendra mulai mengomel sembari mengompres setiap memar dengan teliti. Tiap kali matanya menangkap luka ditubuh sang anak, lelaki itu selalu merasakan gelombang amarah yang sulit dibendung.
"Nggak apa-apa kok. Besok juga udah sembuh," balas Jesher malas pusing. Mungkin karena sudah terbiasa mendapat pukulan semacam ini jadi toleransinya terhadap rasa sakit juga semakin baik. Jika bukan sang Ayah yang bersungut mengobati pun Jesher akan langsung tidur saja setelah mandi.
Tarendra menarik napas dalam-dalam menenangkan diri. "Ayah obatin dulu, habis ini kita ke rumah sakit. Kamu tadi bilang kepalamu kena lempar vas bunga 'kan? Kita harus periksa, Ayah nggak mau kamu kenapa-napa," katanya lembut.
Akan tetapi Jesher menggeleng cepat, kali ini menolak dengan tegas. "Nggak usah, Yah. Lagian juga udah malem banget ini, aku ngantuk mau tidur."
Tarendra hanya bisa menahan kesal, berusaha fokus pada tugasnya untuk merawat luka di depan mata. Tangan yang biasa tegas dan kuat kini terasa begitu lemah saat menyadari bahwa setiap gerakan kecil yang ia lakukan pasti akan menyakiti putranya. "Ayah khawatir ada luka dalam juga. Kalo nggak mau ke rumah sakit, biar Ayah telpon Tama suruh datang ke sini."
"Ayah, aku beneran nggak apa-apa. Om Tama pasti sibuk, dia juga capek seharian." Jesher masih bersikukuh, ia senang Tarendra mengkhawatirkannya tapi ia benar-benar merasa baik-baik saja sekarang. Ditambah kelopak mata yang terasa semakin berat membuat Jesher ingin lelaki itu segera menyelesaikan kegiatannya agar tubuhnya bisa berbaring lebih cepat. "Percaya deh."
Tarendra berhenti sejenak setelah beberapa menit dia menghabiskan waktu berkutat dengan ice bag ditangan, setelah memastikan semua sudah cukup ia meminta anak itu menghadap kearahnya. "Balik sini. Lehermu juga biar Ayah obatin."
Tanpa protes, Jesher langsung membalikkan tubuh hingga mereka saling berhadapan. Disaat itu Tarendra bisa dengan jelas melihat luka melintang yang nampak sangat mencolok.
"Dongak dikit," titahnya lagi, lalu segera mengoleskan salep dengan telaten. "Kamu bisa nggak berhenti bikin Ayah khawatir? Tiap hari ada aja kejadian."
Kekehan Jesher terdengar menanggapi ocehan sang Ayah. Ia pun bingung, kenapa bisa masalah selalu datang beruntun kepadanya.
"Kenapa kamu nggak mukul balik?" Tarendra menuntun kepala Jesher untuk kembali menunduk setelah memastikan seluruh luka itu dibalut salep. Lalu ia beralih pada lengan kanannya yang juga terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRANGER
General FictionTerendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak terduga. Bocah 17 tahun mantan anggota kelompok buronan? Tapi itulah faktanya. -------------------- #...