Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak terduga.
Bocah 17 tahun mantan anggota kelompok buronan?
Tapi itulah faktanya.
--------------------
#...
Nama tokoh, tempat kejadian dan konflik cerita ini hanya fiktif belaka.
.
.
.
.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
******
Jesher membuka matanya perlahan, mengerjap, menyesuaikan diri pada cahaya lampu yang menusuk saat dia mencoba mencari tahu dimana keberadaannya sekarang. Ruangan itu lebih terang dibandingkan dengan tempat terakhir yang dia ingat, juga dinding-dinding berwarna putih dan aroma antiseptik yang memenuhi udara rupanya berhasil membawa kenangan dari satu tahun yang lalu.
Ini pasti ruang medis di kantor RAS.
"Udah bangun?"
Jesher menoleh mendapati Jean yang mendekat dengan ponsel dalam genggaman, pemuda itu nampak semakin gagah dengan seragam RAS yang melekat pas ditubuhnya.
"Lo ngapain anjir jadi sniper?" Cerocos Jean cepat setelah sepasang netra cokelat itu membalas tatapannya. Ia berdecak merutuki tindakan sepupunya yang diluar nalar. Kini Jesher bahkan sedang menjadi buronan polisi, keluarga besar Samuel akan bekerja keras untuk menuntut keadilan dan mencari siapa dalang dibalik peristiwa tersebut.
"Ambilin minum." Jesher meminta sembari berusaha mendudukkan diri di atas brankar. Kepalanya langsung berdenyut sakit mengundang ringisan pelan yang sampai ditelinga Jean.
"Tapi lo mantep juga sih. Bisa-bisanya lo masih hidup habis dikeroyok." Pelan-pelan Jean menyerahkan sebotol air mineral, mengamati Jesher yang pada akhirnya hanya memegang botol itu dan menghela panjang.
"Gue juga ngiranya gue udah mati."
Bahkan sampai sekarang ia masih belum bisa mengingat kejadiannya dengan jelas. Setelah menyapa, Tarendra langsung mendorongnya dan tiba-tiba saja Rival sudah berdiri di sana, memukul kepalanya dengan keras hingga semua berubah gelap.
"Ck. Bisa jalan 'kan? Lo harus ke ruang interogasi sekarang," kata Jean menatap miris. Jika dipikir-pikir sepupunya ini sungguh malang, sudah diusir dari rumah, dibikin babak belur, sekarang masih harus menghadapi Danu. "Minum dulu deh. Kasian bener."
Jesher mneurut saja, dia menghabiskan isi botol tersebut kemudian beringsut turun dari brankar. Namun, ada satu hal yang membuatnya merasa lucu, sepatu dan jaketnya masih melekat sempurna. Itu berarti mereka benar-benar hanya meletakkannya dan pergi begitu saja.
Seperti barang yang tidak lagi berguna, sampah.
"Tangan lo, sini."
Satu alis remaja itu terangkat merasa bingung, hingga pandangannya menangkap sebuah plastic handcuffs ditangan Jean. Rupanya sekarang dia benar-benar sudah dianggap sebagai penjahat. "Harus banget?"