Nama tokoh, tempat kejadian dan konflik cerita ini hanya fiktif belaka.
.
.
.
.
******Biasanya, Jesher selalu suka dan merasa telah bebas jika dr. Tama mengijinkannya untuk pulang. Bau obat-obatan dan suara monoton mesin monitor rumah sakit terkadang membuatnya gelisah, sehingga keluar dari ruangan itu adalah momen yang selalu ia nanti-nantikan. Namun, hari ini, perasaan senang itu tidak muncul sama sekali. Bahkan ketika mobil yang ia tumpangi berhenti di depan rumah Ayahnya, tidak ada perasaan nyaman yang menyapa.
Wajahnya yang lesu terlihat semakin jelas, mata kosong itu pun masih betah memandang keluar jendela kendati satu persatu orang beranjak keluar.
"Kenapa nggak turun. Mau digendong sama Rival?" Tarendra bertanya setelah membuka pintu mobil dan melihat remaja itu seperti tak berniat untuk meninggalkan tempatnya.
Jesher mendengus pelan, lalu tanpa menjawab ia bergegas turun dengan wajah tanpa minat. Langkahnya pelan mengikuti sang Ayah yang lebih dulu masuk ke dalam rumah dan meletakkan beberapa barangnya di ruang tengah.
Bau rumah itu masih terasa familiar, setiap sudut ruangan mampu mengingatkannya pada kenangan pahit yang juga terjadi ditempat itu. Hari dimana Tarendra mengusirnya dengan kasar, teriakan yang ditujukan padanya dan luka yang hari itu tercipta masih belum kering. Jesher tentu tak melupakan bagaimana ia diperlakukan seolah tak lagi memiliki arti, dibuang bahkan diminta untuk tak menampakkan diri dihadapan lelaki itu lagi.
Lukanya terlalu dalam dan begitu sulit untuk disembuhkan.
"Ambilin minum, Val." Tarendra memerintah saat melihat gurat letih di wajah putranya yang kini mendudukkan diri di sofa. Padahal dia tidak melakukan apapun dan hanya duduk manis di dalam mobil tapi kelihatannya seperti pulang dengan berjalan kaki.
"Kalau ada keluhan, ada sakit, langsung bilang sama Rival. Nggak usah sok kuat," kembali Tarendra memberi wejangan yang sebenarnya sudah ia katakan diperjalanan tadi.
Jesher hanya mengangguk malas, tak berniat menanggapi lebih dari itu. Kemudian di detik selanjutnya ia mulai merubah posisi jadi berbaring di atas sofa dengan tangan sebagai bantalan kepala. Kini ia harus mengakui bahwa tubuhnya benar-benar jauh lebih lemah.
"Kalau mau tidur langsung ke kamar." Decakan pelan keluar dari mulut lelaki itu saat melihat Jesher tak juga mengindahkan perkataannya dan malah memejamkan mata.
"Jesh."
"Iya. Nanti aku pindah," sahut Jesher dengan nada muak, masih dalam keadaan terpejam. Ia masih tak terbiasa dengan Tarendra yang berubah cerewet, padahal biasanya Ayahnya itu tak banyak omong, lebih sering membiarkannya melakukan apa yang ia mau, tapi sekarang rasanya semua yang ia lakukan salah dimata lelaki itu. "Aku capek."
KAMU SEDANG MEMBACA
STRANGER
General FictionTerendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak terduga. Bocah 17 tahun mantan anggota kelompok buronan? Tapi itulah faktanya. -------------------- #...