Nama tokoh, tempat kejadian dan konflik cerita ini hanya fiktif belaka.
.
.
.
.
Tarendra menghela napas melihat selembar roti tawar beserta selai coklat diatas meja, lalu menatap pada Ellie yang berbalik pergi setelah meletakkan segelas air. Ia bahkan tidak mendapatkan kopi hitamnya pagi ini."Ellie, maksud kamu apa kayak gini? Kamu mau saya kelaparan?"
Wanita itu berhenti disudut meja, tubuhnya berbalik setelah menghentakkan kaki dengan keras. "Saya nih sibuk, Pak. Selain kerja di kantor saya juga harus bolak balik ke rumah sakit buat nemenin anak bos saya. Mana ada waktu buat belanja sama buat sarapan."
Didorongnya piring itu dengan raut kesal. Selera makannya sirna mendengar sindiran pedas dari mulut asistennya sendiri. "Kamu sendiri yang mau sibuk. Padahal anak bosmu itu udah ada yang jagain dirumah sakit."
Ellie mendelik, tak mengira Tarendra akan membalasnya secepat ini. "Saya tuh cuma nggak mau anak bos saya ngerasa kesepian karena Ba-pak-nya nggak pernah jengukin. Giliran dateng, cuma bikin kondisinya makin drop!"
Berita tentang Tarendra dan Danu yang datang mengunjungi Jesher hanya untuk menggali informasi sampai membuat kondisi remaja itu menurun sudah sampai ditelinganya. Saking kesalnya, Ellie bahkan sengaja tak menyiapkan sarapan dan keperluan lain Tarendra seperti biasanya agar lelaki itu tahu bagaimana rasanya diabaikan.
"Dijenguk dong Pak, anaknya." Ellie memutuskan duduk disalah satu kursi dengan tampang memelas. Ia sudah putus asa memikirkan cara agar lelaki itu bersedia untuk menemui Jesher sebagai Ayahnya, bukan sebagai orang yang mengusut kasus penyusup yang masuk ke rumahnya.
"Saya sibuk. Asisten saya kerjanya nggak beres jadi saya lagi yang harus kerja dua kali," sinis Tarendra lalu meneguk segelas air yang langsung ia lepeh saat itu juga karena rasanya yang aneh.
"Itu air keran Pak. Maaf ya." Ellie bangkit kemudian menundukkan kepalanya sebagai permintaan maaf. Lalu sebelum Tarendra mengeluarkan sumpah serapahnya ia kabur lebih dulu.
"Ellie!"
"Maaf Pak! Saya mau ke rumah sakit, bawain barang-barangnya Rival!" Teriaknya dari ujung tangga.
Tarendra hanya bisa menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Terlepas dari semua bantahannya, apa yang wanita itu katakan memang benar. Sudah selayaknya ia menemani Jesher dan memastikan anak itu merasa aman. Bukan malah menghindar dan bermasa bodo seperti sekarang.
Namun melakukannya tidak semudah itu. Dalam hati Tarendra pun merutuki dirinya sendiri yang masih saja dibayang-bayangi oleh dendam pada Renata dimasa lalu. Seharusnya ia bisa mengesampingkan hal tersebut dan menatap Jesher sebagai putranya, tapi setiap kali pandangan mereka bertemu kilas balik ingatannya pada kejadian dihari itu terus berputar. Satu persatu kejahatan yang Renata lakukan selalu datang memenuhi kepalanya yang serasa ingin meledak.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRANGER
General FictionTerendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak terduga. Bocah 17 tahun mantan anggota kelompok buronan? Tapi itulah faktanya. -------------------- #...