Bab 25

134 6 0
                                    

Voting
Voting

Gustav membantu Arimbi menata sarapan kemeja makan. rutinitas ini selalu dia lakukan setiap hari, mereka berbagi tugas rumah tangga, dan yang paling membuat bangga putrinya juga ikut andil dalam membereskan rumah.
Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Maya sebelumnya, seperti menyapu, mencuci piring, menjemur pakaian dan masih banyak hal baru yang dipelajari sang putri.

Maya yang sudah lengkap dengan seragam ikut bergabung kemeja makan. "selamat pagi ayah, ibu" ujarnya sebelum duduk.

"Selamat pagi juga" balas Gustav dan Arimbi.

Meja makan hening, hanya suara sendok sesekali terdengar saling beradu.



"May, hari ini mau kemana nak?"  Tanya Gustav.

"Mau ke rumah pak Sean, ada acara pemuda, sekalian mau rapat mengenai alokasi lebihan dana desa" jawab Maya.

Gustav tersenyum bangga, putrinya bisa bersosialisasi dengan baik, Maya tidak pernah memiliki teman, ataupun seseorang yang cukup dekat seperti seorang sahabat, dan sekarang Gustav bisa melihat Putrinya sudah dewasa, bisa membawa diri dengan baik.

"Betah gak tinggal disini?" Tanya Arimbi.

"Betah Bu. Maya gak nyangka bisa dapet teman-teman yang baik, se frekuensi pula. Meskipun pada tinggal dikampung tetap nyambung diajak ngobrol. Awalnya sih basa-basi bahas mas taehyung eh yang lain pada tau semua." Papar Maya sambil terkekeh. Bayangan tentang kampung benar-benar meleset.
Maya pikir di kampung penuh dengan orang-orang kolot, seperti wanita muda yang menikah paksa, ataupun para gadis yang masih menggunakan kebaya kutu sederhana, menimba air dari sumur, banyak lagi bayangan buruk tentang kampung yang tertinggal.





"Ibu senang kamu punya teman" sahut Arimbi.

..........

Sangat berbanding terbalik dengan sepeda motor yang berjejer di depan rumah Sean, Maya datang mengemudikan mobil.
Harusnya dia mendengar nasehat ibunya saat di suruh antar atau naik ojek pengkolan.

"Maya sini" teriak Mely, saat melihat sahabatnya itu celingak-celinguk.

Maya tersenyum lega, dia pikir Mely dan Golda belum sampai.

Maya langsung bergabung bersama Mely, Golda, dan beberapa teman yang memang Maya sudah kenal, tapi hanya sekedar tau saja.

"Hai" sapa Maya canggung.

Kedatangan Maya mencuri perhatian. tidak hanya pria, kaum wanita juga terang-terangan menatap.

"Kamu cantik banget sih" celetuk Golda, matanya tidak lepas dari wajah bersinar Maya. Sahabatnya itu datang dengan outfit sederhana, tapi tetap stunning dan menawan.

"Terimakasih, kalian semua juga cantik kok"
Jujur saja Maya tidak tau harus bilang apa, entah teman-temannya itu yang berlebihan atau bagaimana. Setiap bertemu, Mely, dan Golda selalu melayangkan pujian yang sama. 
Entah menyebutnya kembang desa premium,   ataupun pujian-pujian yang membuat wajah memerah.

Acara diskusi telah selesai, kelebihan dana desa akan dialokasikan untuk menambah ruangan sekolah SLB yang dinaungi yayasan milik Sean.

"Pak Sean juga punya sekolah SLB" tanya Maya berbisik. Mereka sedang menyantap makanan penutup untuk mengakhiri pertemuan.

"80 % fasilitas umum, atau bangunan-bangunan besar disini milik keluarga pak Sean. Rumah sakit yang dekat lampu merah, sekolah swasta yang kemarin kita obrolin juga punya pak Sean" jelas Golda.

Mely mengangguk. " Makanya dia menantu idaman disini. Pokoknya kalau kata mamak ku paket komplit dah. Gulanya pas, asinnya gak ada" pungkas Mely sambil cekikikan.

"Kira-kira wanita beruntung mana yang ditakdirkan untuk pangeran berkuda putih itu" celetuk Golda, matanya mengawasi setiap gerakan Sean yang sedang bergurau bersama pemuda desa yang lain.

Maya juga kagum melihat Sean, bukan karena semua kelebihan-kelebihan yang dibeberkan kedua sahabatnya itu, namun sesuatu yang lebih besar, Seperti Sean yang rela meninggalkan gemerlap kota hanya untuk membangun desa kecil, menciptakan lapangan pekerjaan, memfasilitasi kesehatan dan pendidikan. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oranglain.

















NOAH LOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang