SMA KSATRIA BAJA UNGU, 2021
Barisan telah dibubarkan, seusai pengumuman penting sebelum memasuki MOS hari pertama yang akan dimulai besok. Ayu menatap Daira yang terus saja memasang wajah datarnya, akibat melihat siapa saja yang mendaftar di SMA Ksatria Baja Ungu selain mereka berdua.
HOAAAAMMMM!!!
Rafa menguap lebar di depan semua calon siswa dan siswi baru--yang hari itu juga berbaris bersama dengannya di lapangan--tanpa merasa malu sama sekali.
"Kurang lebar! Lebarin lagi nguapnya! Biar nyamuk, lalat, kecoa, kodok, burung pada bisa masuk! Mulut Kuda nil aja bakalan kalah kalau disuruh adu nguap sama lo!" seru Farhan.
"Apa sih, lo? Enggak bisa banget lihat orang bahagia. Gue ini lagi menikmati masa kebebasan, setelah setahun terkurung dalam penjara bernama 'sekolah online'," balas Rafa, sambil merentangkan kedua tangannya agar terlihat lebih puitis dan simbolis.
Daira dan Ayu pun segera berbalik ke belakang, lalu menatap sebal ke arah Rafa yang kelakuannya tak pernah berubah sama sekali.
"Oh, jadi ini hasil sekolah online yang lo jalani setahun kemarin? Ck-ck-ck ... benar-benar gak ada gunanya, ya," sindir Daira kepada Rafa, secara terang-terangan.
"HA-HA-HA-HA-HA!!!"
Rafa pun seketika merasa turun derajat akibat sindiran yang diberikan oleh Daira kepadanya, hingga membuat Iqbal, Denis, Farhan dan Alden tertawa terpingkal-pingkal. Ia mengarahkan tatapan mata elangnya kepada Daira tanpa ragu-ragu. Musuh bebuyutannya sejak SMP itu selalu saja berhasil membuat derajatnya jungkir balik terguling-guling di hadapan banyak orang, tanpa pandang bulu.
"Sirik aja sih lo! Sukaaaaa banget mengusik ketenangan hidup gue yang indah ini," balas Rafa, ketus dan sengit.
"Iya Day. Sekali-sekali maunya lo lebih romantis sedikit gitu sama Rafa," saran Alden.
Saran yang akhirnya disambut tawa cekikikan dari yang lainnya, di mana tawa cekikikan itu bisa membuat kuntilanak insecure dengan tawanya sendiri. Ayu--yang tadinya ada di barisan depan--pun kini benar-benar memutar tubuh dan berbalik ke arah mereka semua. Rasa jengkel yang bersarang di dalam kepala dan dadanya sejak tadi sudah tak bisa lagi ditahan-tahan, meski ia terus mencobanya.
"Eh ... udah deh! Banyak ngoceh aja lo semua! Lagian ya, dari sekian banyak SMA yang ada di Jakarta, bisa-bisanya lo semua mendaftar ke SMA ini. Udah enggak ada pilihan lain, gitu? Kenapa kalian nggak mendaftar di SMA Merak Tujuh Warna atau SMA Raja Kepiting aja, sih?" tanya Ayu, penuh kekesalan.
Denis menenangkan yang lainnya agar berhenti tertawa, lalu mempersilahkan Farhan untuk menjawab pertanyaan dari Ayu.
"Bapak Farhan, penjelasan dari anda amat sangat dinanti-nantikan oleh Ibu Ay yang cantik jeletot. Waktu dan tempat dipersilahkan," ujar Denis.
Farhan pun maju satu langkah ke depan, setelah membetulkan jas sekolah yang masih dipakainya. Ayu menatapnya dengan sengit, sementara Farhan justru tersenyum manis bagai gulali melempem usai terkena sapuan angin.
"Jadi begini Ibu Ay yang cantik jeletot. Bukannya kami enggak ada pilihan lain. Kami hanya menggunakan kesempatan yang telah diberikan oleh pemerintah setelah lulus SMP akibat Covid-19. Kapan lagi, kami bisa lulus dengan nilai tinggi tapi otak tetap blo'on?" tanggap Farhan, apa adanya.
"Ih, jahat banget sih mulut lo!" omel Alden.
"Astaghfirullah, Farhan! Lo enggak boleh su'udzon sama kita. Karena sejujurnya, apa yang lo katakan tentang kita itu ... ya, benar," ujar Iqbal, sangat santai.
Alden dan Denis pun segera menyerbu Iqbal dengan pukulan-pukulan manja mereka pada lengan dan bahunya. Membuat Iqbal meringis kesakitan dalam sekejap. Daira dan Ayu pun memutar kedua bola mata mereka dengan penuh kejengkelan tiada tara. Farhan dan Iqbal jika sudah bertemu selalu saja sukses membuat orang lain sakit kepala dengan tingkah laku konyol mereka, yang terbawa sejak masih berada di dalam kandungan. Ditambah lagi dengan dukungan Alden dan Denis, membuat kekonyolan itu semakin menjadi komplit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sohib By Accident
HumorIni kisah anak SMA yang benar-benar di luar dugaan. Percayalah, tidak akan ada yang percaya kalau ini kisah anak SMA. Bahkan, penulisnya pun ragu kalau mereka adalah anak SMA. Tapi, inilah kisah anak SMA. Jika ingin protes, katakanlah pada mereka.