CHAPTER 23

29 8 0
                                        

Pak Mamat menatap ke arah para siswa yang hari ini sudah siap menonton pertandingan. Hari itu, yang akan bertanding adalah kelas 12 IPA dan 12 IPS, 11 IPA dan 11 IPS, 10 IPA dan 10 IPS.

Farhan meregangkan otot-ototnya, dipinggir lapangan. Ia melakukan pemanasan pada tubuhnya dengan sempurna, dari kepala sampai ujung kaki tanpa ada yang terlewat.

"Han, elo ngapain sih, sebenarnya?" tanya Denis.

"Pemanasan, bro. Biar gue lebih siap bertanding hari ini melawan kelas 10 IPS," jawab Farhan, penuh semangat.

Daira meringis.

"Masalahnya kita mau bertanding cerdas cermat, landak! Bukan mau adu fisik!" ujarnya.

Pemanasan yang Farhan lakukan pun terhenti. Dengan kedua mata menyipit, ia menatap ke arah Daira.

"Jadi, hari ini kita enggak akan bertanding fisik, nih?" Farhan berusaha meyakinkan pendengarannya.

"Iya, Farhan! Hari ini tuh, cuma cerdas cermat aja yang akan bertanding," jawab Daira, sambil memutar kedua bola matanya.

"Kampret si Rafa!" umpat Farhan.

"Hm, aku suka keributan!" gumam Denis, sambil tertawa jahat.

Farhan menoleh ke arah sasarannya dengan begitu dramatis.

"Rafa!" panggilnya, lantang.

Rafa pun berbalik, lalu menatap tepat juga ke arah Farhan.

"Apa?" tanyanya.

"Aku mengutukmu menjadi batu asahan!" ucap Farhan, seraya menujuk ke arah Rafa.

Rafa balas menunjuk ke arah Farhan.

"Percayalah ... sebentar lagi kau akan mendapat balasan atas kutukanmu tersebut, wahai anak landak!" serunya.

PLETAKKK!!!

Sebuah jitakan benar-benar mendarat di kepala Farhan tanpa bisa ditepis. Daira pun menyapu-nyapu tangannya, setelah puas memberikan pelajaran. Sementara Denis berusaha mati-matian menahan tawanya.

"Sampai ada gue dengar lagi suara-suara kegilaan dari mulut kalian berdua, gue enggak akan segan-segan mendaratkan jitakan terkeras di kepala kalian!" ancam Daira, tak main-main.

Farhan meringis kesakitan, Rafa mendekat dengan santai sambil terkekeh pelan.

"Day kalau lagi marah kelihatan makin cantik, ya," ujar Rafa.

"Cantik, pala Bapak kau!!!" umpat Farhan, seraya berusaha meraih kerah baju Rafa namun dihalangi oleh Denis.

Di kubu kelas IPS, Iqbal mendongakkan kepalanya untuk menatap langit sambil berkomat-kamit, seperti dukun beranak yang sedang menghafalkan tata cara membantu persalinan ibu-ibu arisan.

"Keraton Solo dipimpin oleh Susuhunan Paku Bowono III, sementara Keraton Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono I."

Ayu dan Alden menatapnya dengan mimik aneh di wajah mereka.

"Kok bisa, sih, si Iqbal yakin banget kalau cerdas cermat hari ini materinya tentang, sejarah?" tanya Ayu.

"Entahlah. Dia dapat pangsit, kali Ay," jawab Alden.

Ayu melirik ke arah Alden dengan penuh kebingungan.

"Hah? Pangsit?"

"Itu ... sejenis ilham atau bisikan yang berisi petunjuk," jelas Alden.

"Itu namanya wangsit ... kijang! Bukan pangsit! Pangsit mah, makanan!" geram Ayu, meledak-ledak.

Kondisi Alden pun telah berubah menjadi babak belur dalam sekejap mata, akibat amukan Ayu. Iqbal masih saja menengadahkan kepalanya ke arah langit sambil berkomat-kamit.
Shena melintas di hadapan mereka bertiga, bersama teman-temannya. Gadis itu sempat memperhatikan Iqbal selama beberapa saat. Ayu dan Alden menyadari itu, lalu mencoba membuat Iqbal tetap menatap langit, agar tak melihat Shena dengan tujuan agar pria itu tak kembali mengalami patah tulang hati.

Sohib By AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang