Rafa membuka ranselnya dan mengeluarkan kotak berisi telur burung kakaktua yang masih dirawatnya dengan baik. Ia berdiri di depan pintu kelas 10 IPA 2, dan hal itu membuat Daira tersenyum sambil berjalan melompat-lompat untuk menyongsong kotak itu dari tangan Rafa. Rafa begitu terpesona saat melihat bagaimana tingkah Daira jika sedang menyambut 'Iqbal'. Ia bahkan sempat membayangkan kalau di masa depan nanti, Daira juga akan menyambutnya seperti itu saat ia pulang bekerja setelah mereka berumah tangga.
Daira akan tersenyum penuh cinta, merentangkan kedua tangannya dan membiarkan Rafa datang ke dalam pelukannya. Mereka akan berdansa bersama di teras rumah, lalu anak-anak mereka akan berlarian menyambut kedua orangtuanya dengan begitu menggemaskan.
"Raf??? Raf??? Rafa!!! Elo kenapa???" Daira memanggil-manggil nama Rafa sambil mengguncang-guncang tubuhnya berulang-ulang kali.
Lamunan Rafa tentang Daira pun buyar dalam sekejap, lalu kembali pada kenyataan yang pahit di mana Daira begitu membencinya sejak SMP.
"Elo kenapa, Raf? Kesambet? Senyum-senyum sendiri sambil merem kaya orang gila. Sadar lo, jangan kebanyakan ngelamun enggak jelas," tanya Daira, sekaligus berpendapat.
"Duh, lo ngomongnya sembarangan banget sih, Day. Dalam lamunan gue, perasaan elo adalah orang yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, deh. Kok bisa beda sih, sama kenyataan?" Rafa balik bertanya.
"Idih ... mana ada gue berkelakuan begitu? Bukan gaya gue banget, Raf. Salah khayalan deh lo kayanya. Udah, siniin si 'Iqbal', biar gue rawat," pinta Daira.
Rafa pun menyerahkan kotak ke tangan Daira.
"Hati-hati rawatnya. Pastikan rawat 'Iqbal' dengan penuh kelembutan, penuh kasih sayang, dan ...."
"Dan penuh cinta! Iya Raf, iya. Pasti gue akan rawat seperti yang seharusnya. Kalau menghadapi 'Iqbal', udah jelas gue akan seperti itu. Beda lagi urusannya kalau gue menghadapi elo. Gue harus selalu bertindak bar-bar kalau menghadapi elo, biar elo enggak ngelunjak!" tegas Daira, sambil berlalu dari hadapan Rafa.
Kedua tanduk di kepala Rafa pun muncul seketika. Ia menyeringai jahil saat Daira sudah membelakanginya.
"Bagaimana pun itu, gue tetap cinta sama elo, Day!!!" teriak Rafa, hingga seisi kelas 10 IPA 2 menoleh serempak ke arah Daira.
Tubuh Daira pun mematung dalam sekejap, namun Rafa telah berlari lebih cepat agar Daira tak bisa mengejarnya.
"CIEEEE....!!!"
Seluruh anggota kelas itu akhirnya bercie-cie ria ke arah Daira. Membuat Daira harus menutup wajahnya dengan kotak kayu yang tengah ia pegangi.
"Swit swit!!! Ada yang dapat ungkapan cinta secara dadakan nih, udah kaya tahu bulat yang digoreng dadakan," ejek Farhan.
"Diam enggak! Atau gue tabok muka lo pakai kotak kayu ini!" ancam Daira, tak main-main.
Farhan pun bergegas menyembunyikan wajahnya di balik buku cetak Biologi yang tengah dibacanya. Daira pun segera duduk di kursinya, seraya meletakkan kotak kayu ke atas meja. Ia menatap telur di hadapannya yang baru saja diserahkan oleh Rafa, setelah kotak kayunya terbuka. Ia memperhatikan cangkang telur berwarna keputihan tersebut dengan sangat lama. Farhan menyadari hal itu, lalu ikut menatap ke arah telur tersebut. Berusaha menebak-nebak apa yang tengah dipikirkan oleh Daira saat itu.
"Ada yang aneh dari 'Iqbal'?" tanya Farhan.
Daira pun menatap ke arah Farhan sambil tersenyum singkat.
"Lo tahu, 'kan, kalau gue sama Rafa enggak benar-benar mau menamai telur burung ini memakai namanya Iqbal?" Daira balik bertanya.
"Iya, gue tahu. Tapi kalau lo sama Rafa serius mau ngasih nama 'Iqbal' juga enggak apa-apa, kok. Ikhlas, gue," jawab Farhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sohib By Accident
HumorIni kisah anak SMA yang benar-benar di luar dugaan. Percayalah, tidak akan ada yang percaya kalau ini kisah anak SMA. Bahkan, penulisnya pun ragu kalau mereka adalah anak SMA. Tapi, inilah kisah anak SMA. Jika ingin protes, katakanlah pada mereka.