CHAPTER 8

63 7 13
                                    

Rafa memindahkan telur burung Kakaktua ke dalam sebuah kotak yang isinya telah ia bentuk menjadi seperti sarang burung sungguhan. Setelah diletakkan dengan penuh kehati-hatian, kotak itu pun akhirnya ditutup kembali dan dimasukkan ke dalam ransel yang sudah Rafa siapkan. Saat akan berangkat ke sekolah, ponselnya tiba-tiba saja berbunyi tepat di depan Ibunya.

"Siapa yang telepon kamu pagi-pagi begini, Kasep?" tanya Mirasih.

"Calon menantu Mamah di masa depan," jawab Rafa, cengengesan.

Kedua mata Mirasih pun mendadak berbinar-binar, setelah telinganya mendengar jawaban putra satu-satunya tersebut.

"Neng Daira? Ya Allah, tumben dia telepon kamu? Dosa kamu udah diampuni sama Neng Daira?" tanya Mirasih.

"Dosa Rafa diampuni? Mah, Day itu calon istri Rafa, bukan Allah. Mana bisa dia mengampuni semua dosa-dosanya Rafa?"

"Astaghfirullah hal 'adzhim! Kamu teh dapat juara satu terus lewat jalur apa sih, Nak? Bisa-bisanya pikiran kamu enggak bisa nyambung sama pikiran Mamah! Maksud Mamah teh, kesalahan kamu sama Neng Daira udah dimaafkan gitu?" jelas Mirasih.

"Oh ... Mamah lagi bahas kesalahan aku sama Day? Ya ... perkara itu, sih, kayanya belum, Mah. Day saat ini belum benar-benar memaafkan Rafa, tapi setidaknya ada sedikit harapan deh. Kalau nanti di masa depan Rafa mau ngelamar dia, mungkin persentase penolakannya udah berkurang dari yang dulu, Mah," jawab Rafa, pada akhirnya.

"Oh, ya? Dari persentase penolakan yang seratus persen, sekarang udah berkurang jadi sisa berapa?"

"Sembilan puluh sembilan persen koma sembilan puluh sembilan persen, Mah."

Mirasih pun segera mengangkat cangkir tehnya yang sudah kosong, untuk dilemparkan ke arah Rafa.

"Ish! Budak teh meni belekok pisan! Eta mah ngarana eweuh kamajuan! Geus, geura angkat siah ka sakola!" perintah Mirasih, yang sudah terlanjur sebal setengah mati pada putra tunggal kesayangannya.

Rafa pun akhirnya mengangkat telepon itu di luar rumah, karena Mirasih telah terlanjur mengusirnya.

"Halo, Day. Assalamu'alaikum," ujar Rafa.

"Wa'alaikumsalam. Lama banget, sih, angkat teleponnya?" sebal Daira.

"Maklum, gue habis dimarahin tuh sama calon mertua lo," jelas Rafa.

"Hah? Calon mertua gue? Siapa?" tanya Daira, kebingungan.

"Nyokap gue, lah. Siapa lagi coba?" balas Rafa.

"Ish! Enggak usah mimpi deh lo! Masih pagi buta, nih!" omel Daira.

"Gue enggak mimpi, kok. Gue udah bangun, nih. Udah mandi juga, udah ganteng."

"Rafa! Gue telepon mau nanyain Iqbal, bukan mau nanyain kabar lo, tahu!"

"Iqbal? Rumah gue sama rumah Iqbal jauh, Day. Mana gue tahu juga si Iqbal lagi apa sekarang."

"Bukan Iqbal Thomas Suparna yang gue maksud, Rafa! Iqbal anak kita!"

Sumpah, Daira benar-benar menjerit-jerit akibat bicara di telepon bersama Rafa. Orang-orang di sekelilingnya sudah memperhatikan dirinya sejak tadi, namun Daira cuek bebek saja dan tak mau peduli.

"Oh, Iqbal anak kita. Ada, kok. Ini udah gue buatin sarang yang bagus buat dia. Sarangnya ada di dalam kotak kayu yang baru. Nanti gue kasih lihat di sekolah," jelas Rafa, yang akhirnya mengerti maksud pembicaraan Daira.

Rafa merasa kalau Daira selalu saja sebelas dua belas dengan Ibunya, tidak pernah to the point ketika membahas sesuatu. Hingga akhirnya selalu saja menimbulkan kesalahpahaman pada akhir pembicaraan. Setibanya di sekolah, Denis menatapnya dengan heran.

Sohib By AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang