Suara getaran ponsel milik Denis cukup mengganggu telinga Julaeha--Ibu kandung Denis--yang sedang menyiangi daun-daun kangkung di meja depan teras.
"Denis ... itu hape geter-geter wae dari tadi!" serunya, memanggil Denis yang berada di dalam rumah.
Denis pun bergegas keluar dari dalam rumah, sambil membawa satu piring nasi dengan lauk yang menggunung.
"Astaghfirullah, Denis! Itu tempe orek jangan dihabisin atuh! Nanti orang rumah mau pada makan apa kalau tempe oreknya habis?" omel Julaeha, saat melihat isi piring yang dibawa oleh anaknya.
Denis pun nyengir kuda yang malu-malu di depan Julaeha.
"Enggak habis, kok, Mak. Masih ada tuh sisanya di meja," ujar Denis.
"Masih banyak?" tanya Julaeha.
"Banyak, Mak."
"Seberapa banyak?"
"Dua sendok."
Julaeha mencebik gemas ke arah anaknya.
"Itu mah namanya enggak banyak, Denis. Itu lebih cocok disebut tinggal keraknya doang. Kamu teh di sekolah ngapain aja, sih? Kok, Emak perhatiin kayanya hasil belajar kamu teh sama sekali enggak kelihatan," sindir Julaeha.
"Denis enggak belajar di sekolah, Mak. Denis ngangon kambing," balas Denis, dengan kedua mata menyipit.
"Hah? Ngagon kambing? Kambing siapa yang kamu angon?" Julaeha seketika merasa shock.
"Bercanda, Mak. Enggak mungkinlah Denis ngangon kambing di sekolah. Denis belajar, kok," sanggah Denis.
"Belajar apa? Buktinya kalau kamu pulang sekolah, Emak enggak pernah tuh lihat kamu buka-buka buku pelajaran atau ngerjain PR. Ngapain aja coba di sekolah, masa di rumah enggak pernah kelihatan belajar."
"Mak, terkadang belajar itu enggak perlu dipamerin. Pamer itu sama aja dengan riya. Riya itu dosa, Mak," tutur Denis.
Julaeha pun tersenyum.
"Betul, riya teh dosa. Cuma kalau enggak pernah belajar itu bukan pertanda menjauhi riya, tapi emang dasarnya kamu teh pemalas!" semprotnya, sambil melangkah meninggalkan Denis menuju ke dalam rumah.
Denis pun hanya bisa terkikik geli sambil menyantap makanannya saat itu. Ponsel Nokianya kembali bergetar-getar di atas meja. Kali ini Denis pun segera mengangkatnya.
"Halo, Assalamu'alaikum. Gue lagi makan!" seru Denis.
"Wa'alaikumsalam. Gue lagi nelepon!" balas Farhan, polos.
"Gue enggak nanya!" sahut Denis.
"Gue juga enggak nanya, lo lagi makan apa enggak! Enggak usah nyolot deh! Enggak usah bikin gue naik pitam!" omel Farhan.
"Lah? Elo yang telepon, elo yang naik pitam. Harusnya juga gue yang naik pitam, ege! Gue lagi enak-enak makan malah lo gangguin!" sewot Denis.
"Gue enggak berniat gangguin elo, Den. Gue lagi di jalan ini menuju ke rumah lo. Kita jadi mau kerja kelompok, 'kan?" tanya Farhan.
"Oh, iya ya. Kita 'kan mau kerja kelompok. Terus, anak-anak yang lain mau pada datang, enggak?" tanya Denis.
"Ya iyalah, Den. Masa cuma gue yang mau datang. Lo coba telepon Alden, dong. Dari tadi gue telepon tapi enggak nyambung. Sinyal gue jelek kalau nelepon ke nomor XL," pinta Farhan.
"Bukan sinyal lo yang jelek, Han. Pulsa lo yang tidak sederajat sama nomornya si Alden," cibir Denis.
"He-he-he, tahu aja kalau pulsa gue enggak bisa sederajat sama nomornya si Alden," ucap Farhan, malu-malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sohib By Accident
HumorIni kisah anak SMA yang benar-benar di luar dugaan. Percayalah, tidak akan ada yang percaya kalau ini kisah anak SMA. Bahkan, penulisnya pun ragu kalau mereka adalah anak SMA. Tapi, inilah kisah anak SMA. Jika ingin protes, katakanlah pada mereka.