EMPAT

128 25 59
                                    

Jansen benar-benar datang ke alamat yang sudah diberikan oleh Hanny. Orang dari luar Indonesia memang lebih pro dalam segala hal. Apa pun yang diucapkan, pasti langsung dilakukan.

Sama halnya seperti Jansen saat ini. Entah karena alasan apa, ia langsung bergegas mencari Hanny ketika ia mengetahui jika Hanny sedang menangis.

Jansen tampak menghentikan sedan hitamnya tepat di depan pintu gerbang rumah Hanny. Ia keluar dari dalam mobil seraya mencari keberadaan gadis rapuh tersebut.

Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam pintu gerbang. Netranya mulai menyisiri area sekeliling halaman untuk mencari keberadaan Hanny.

Dari sudut teras sebelah kanan, Hanny memang sudah melihat kedatangan Jansen. Tapi, ia masih enggan untuk beranjak karena suasana hatinya masih terasa sangat buruk.

Sudut teras sebelah kanan rumah Hanny memang terlihat gelap karena orang tua Hanny tidak memasang lampu di bagian sana. Jadi, Hanny bisa lebih leluasa untuk menangis.

Karena Jansen mulai merasa kesal, akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi Hanny. Ketika panggilan suaranya tersambung, ia mendengar suara dering ponsel dari sudut teras sebelah kanan tempat Hanny berdiam diri.

Jansen segera memutus sambungan panggilannya seraya beranjak menghampiri gadis tersebut. Ia melihat Hanny sedang duduk sembari memeluk kedua lututnya yang ditekuk. Jansen tampak menghembuskan napasnya kasar sembari berjongkok di hadapan Hanny.

Entah kenapa, melihat pria berparas oriental itu yang tiba-tiba ada di hadapannya, malah membuat Hanny merasa bahwa saat ini ia sedang bermimpi.

“Katakan yang sesungguhnya, apa kamu sedang menduakan adik saya?” tanya Jansen secara terang-terangan tanpa melihat situasi Hanny yang masih terlihat sangat sedih.

Namun, sepertinya Hanny enggan untuk menjawab karena ia tampak memalingkan wajahnya setelah Jansen bertanya seperti itu.

Ngapain cowok freak ini jauh-jauh datang ke sini cuma buat nanyain hal yang gak penting kayak gitu?” gerutu Hanny di dalam hatinya.

“Mungkin, untuk kamu ini adalah hal yang tidak penting. But, it's a very important thing for me!” tegas Jansen dengan suara yang cukup pelan. Sorot matanya mulai menajam ketika ia mengucapkan kalimat tersebut.

Hanny kembali menatap wajah Jansen karena ia cukup terkejut dengan apa yang sudah dikatakan oleh pria berwajah dingin tersebut. Seolah, Jansen bisa membaca apa yang sedang Hanny pikirkan.

“Kalo masalah ini emang penting banget buat kamu, terus, kenapa kamu gak susul aja adik kamu ke Jakarta? Kenapa kamu malah mempersulit hidup aku?” cecar Hanny dengan kondisi mata yang semakin memerah.

Where is your boyfriend now?” Jansen balik bertanya tanpa memperdulikan keluhan Hanny.

Hanny tampak berdiri karena ia sangat kesal setelah mendengar pertanyaan Jansen. Tapi, sepertinya Jansen enggan untuk menyerah. Karena ketika Hanny akan berlalu, Jansen tampak ikut berdiri seraya menarik pelan lengan kanan Hanny.

“Saya belum selesai bicara dengan kamu!”

“Gak ada yang mau aku omongin sama kamu!” tegas Hanny sembari menghempaskan kasar tangan Jansen dari lengannya. “Tinggalin aku sendiri sebelum orang tua aku keluar dari rumah!”

You don't understand what I mean?” Jansen masih enggan untuk menyerah karena ia kembali meraih lengan kanan gadis tangguh tersebut.

Hanny mulai mengusap kening dengan tangan kirinya karena ia sudah lelah dengan semua ini. Masalah Yudha belum terpecahkan. Kini, di hadapannya muncul pria aneh yang perkataannya sama sekali tidak Hanny mengerti.

SOULMATE : Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang