TUJUH BELAS

52 18 17
                                    

Setelah Hanny dan Jansen memutuskan untuk bersama, hari-hari yang Hanny lewati memang kembali ceria

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Setelah Hanny dan Jansen memutuskan untuk bersama, hari-hari yang Hanny lewati memang kembali ceria. Hanny memang tidak menyembunyikan perihal hubungan mereka pada orang tuanya. Tapi, Hanny juga tidak mengatakan apa pun karena ia masih ingin menikmati kebahagiaannya saat ini.

Berulang kali Jansen meminta untuk kembali bertemu dengan Nazar. Tapi, Hanny selalu menolak karena ia belum siap.

"Kenapa masih belum siap?" tanya Jansen seraya menatap lekat netra Hanny.

Malam ini, mereka berdua sedang berada di kedai nasi goreng yang letaknya tidak jauh dari rumah Hanny.

Hanny tampak meletakkan sendoknya karena ia baru selesai menyantap nasi gorengnya. "Aku gak mau lihat kamu berantem lagi sama Papa aku."

"Tapi, kalau kita begini, yang ada kita akan semakin sulit mendapatkan restu," protes Jansen.

Hanny terdiam sejenak. Tidak mungkin ia menyinggung perihal keyakinan mereka. Ia juga yakin Jansen tidak mungkin jika tidak memikirkan soal itu.

"Pasti ada cara lain selain merubah keyakinanku, bukan?" tanya Jansen yang seketika membuat Hanny menatap kaget padanya.

"Udah aku bilang, biarin kayak gini dulu sambil kita merenungkan segalanya," jawab Hanny. Terdengar ada sedikit penekanan pada nada suaranya.

"Mungkin, maksud kamu adalah saya yang harus merenungi segalanya," ujar Jansen sembari tersenyum hambar.

Hanny mengangkat perlahan tangannya untuk mengusap rahang yang terkasih. "Aku gak mau hubungan kita jadi beban buat kamu. Dalam agamaku, berpindah keyakinan adalah sebuah dosa yang sangat besar. Jadi, aku pasti gak akan bisa ikut keyakinan kamu, bagaimanapun kondisi kita."

"Kalau begitu, kenalkan saya pada keyakinan kamu," pinta Jansen dengan tulus.

"Jujur, aku juga bukan seorang muslim yang baik .... Dulu, aku emang suka pergi mengaji. Tapi, sekarang aku lupa sama beberapa ilmu tentang keyakinanku," jelas Hanny, memilih untuk jujur.

"Apa ada orang yang bisa membantu saya untuk lebih mengenal keyakinan kamu?" tanya Jansen lagi. Ia benar-benar tidak memiliki niat untuk menyerah.

"Dulu, aku belajar ngaji sama paman aku. Tapi, nanti aku tanya sama pamanku dulu, apa dia bisa menerangkan tentang keyakinanku tanpa kamu pindah ke dalam keyakinanku dulu," tutur Hanny dengan hati-hati.

Membicarakan hal seperti ini memang sangat sensitif. Jika salah bicara, salah satu dari mereka pasti akan sangat tersinggung.

Tak lama kemudian, Hanny mendengar ponselnya berdering dari dalam saku celananya. Hanny segera meraih ponselnya itu sembari menatap nama siapa yang tertera di dalam layar.

"Baru juga jam tujuh malam, kenapa si Radja udah ngehubungin aku?" tanya Hanny sembari menatap kesal ke arah Jansen.

Tadi sore, Jansen memang meminta tolong pada Radja untuk menjemput Hanny. Untuk itu, Hanny juga harus kembali pulang bersama dengan Radja.

SOULMATE : Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang